Sudah berjam-jam Kanaya terus menangis. Kata demi kata seakan melekat erat di kepalanya. Kata-kata yang selalu membuat Kanaya tertusuk hingga hampir binasa. Goresan demi goresan tak pernah hentinya tertoreh di hatinya. Menjadikan luka yang nantinya akan membusuk dan menyebar sebelum akhirnya menghancurkan.
Belum sempat menyembuhkan luka lama, Kanaya harus mendapatkan luka yang baru lagi. Luka yang selalu datang membawa rasa sakit yang amat perih di hati. Bagaimana bisa sembuh ketika rasa sakit itu terus menjalar, merusak dan pada akhirnya menciptakan sesak.
Ketika Kanaya butuh pelukan hangat, ia malah dipeluk oleh ribuan jarum tajam. Ketika Kanaya butuh seseorang, orang-orang malah menghilang layaknya tak pernah ada.
"Bunda nggak pulang?" tanya Kanaya dengan suara pelan ketika telepon masih tersambung dengan ponsel sang bunda.
Di seberang sana, Lona terdengar menghela napas panjang. "Jangan cengeng! Kamu sudah besar, Kanay. Bunda juga masih banyak urusan." Setelah itu telepon diputuskan sepihak oleh Lona.
Kanaya membuang asal ponselnya. Tangannya terkepal kuat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya agar tidak terisak. Ia sudah lelah menangis. Tapi sayangnya air matanya tak kunjung habis.
Ya, lagi-lagi, dia sendirian.
Kanaya mematikan lampu kamarnya dan berbaring. Menatap langit-langit kamarnya sejenak, lalu bergumam pelan.
"Semoga mimpi indah cantik."
Kanaya tersenyum sekilas lalu menutup matanya. Dan berharap ia dapat merasakan kebahagiaan walau hanya dalam mimpi saja.
•••
Kanaya mengerang beberapa kali. Nada dering ponselnya seakan menjadi alarm pagi bagi gadis itu. Ia sangat butuh istirahat. Karena akhir-akhir ini Kanaya tidak mendapat jatah tidur yang cukup.
Mata Kanaya mengerjap beberapa kali, tangannya ia gunakan untuk meraba-raba benda pipih yang menjadi sumber keributan itu. Ketika sudah ia temukan, diangkatnya telepon entah dari siapa.
"WOI!"
Kanaya seketika menjauhkan ponselnya dari telinga. Karena jika tidak, mungkin suara keras itu akan membuat gendang telinganya pecah.
"BANGUN GOBLOK! LO PIKIR HARI INI LIBUR?!"
"DASAR KEBO!"
Setelah telepon terputus, Kanaya langsung melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6.55. Dan itu artinya, Kanaya pasti telat. Kalau saja Jane tidak meneleponnya, mungkin Kanaya akan bangun lebih dari jam itu.
Kanaya membelalak dengan mulut yang terbuka lebar. "Shit, gue telat!"
Dengan jurus seribu bayangan, Kanaya masuk ke kamar mandi, tidak mandi namun hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, Kanaya meraih seragam sekolahnya yang tergantung rapi, lalu memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Roman pour Adolescents[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...