"Nay," panggil Arkan.
"Hm?" Kanaya menoleh dengan kedua alis yang terangkat.
"Sering-sering senyum kayak gitu, lo cantik."
Kanaya terpaku pada tatapan Arkan yang begitu teduh kepadanya. Jika tidak karena suara ombak, mungkin Arkan dapat mendengar detak jantung Kanaya saat ini. Pipi gadis itu mulai memanas. Apa sekarang dia bulshing karena mendapat pujian dari Arkan?
Arkan rasanya ingin tertawa melihat ekspresi Kanaya yang terlihat sangat menggemaskan. Sebelum akhirnya ia menyadari situasi saat ini sedikit awkward. Arkan kemudian berdehem pelan.
"Kalau dilihat dari atas Monas," lanjut Arkan sembari mengalihkan pandangannya dan kembali mendatarkan raut wajahnya.
Kanaya ikut menggeleng cepat membuang semua pikiran yang tidak berguna. Namun, ia spontan memegangi pipinya yang terasa panas. Udara malam ini seakan berhenti berhembus.
"Nggak usah baper, gue bilang lo cantik kalau dilihat dari atas Monas. Kalau dari dekat nggak," tekan Arkan mengulangi pernyataannya tadi.
Sudahi adegan romantisnya, karena Arkan memang tidak akan pernah romantis. Toh mereka tidak ada hubungan apa-apa, kenapa harus romantis?
Kanaya berdecak kesal. "Iya gue denger, nggak usah diulang-ulang!" ketus Kanaya.
Seketika pikiran jahilnya keluar. Kanaya tersenyum penuh arti kemudian kembali membuka suara, "Tapi tetap aja, kan, lo bilang kalau gue cantik," kata Kanaya memancing Arkan.
Arkan berusaha untuk tetap tenang. Ia tak boleh terlihat gelagapan. Lagian kenapa juga dia memuji Kanaya? Arkan jadi merutuki dirinya sendiri.
"Nggak cantik-cantik amat," balas Arkan singkat, tanpa menatap Kanaya.
Kanaya semakin bersemangat untuk menjahili Arkan. "Oh ya? Lo belum lihat jelas kali." Kanaya memiringkan wajahnya di hadapan Arkan, berusaha agar lelaki itu menatapnya. "Coba lihat baik-baik," lanjut Kanaya sembari tersenyum.
Sangat terlihat jelas kalau Arkan menghindari matanya bertemu dengan Kanaya. Ia sama sekali tidak menatap wajah Kanaya meskipun sudah berada di hadapannya. Saat Arkan memalingkan wajahnya, Kanaya terus mengikuti kemana wajah Arkan akan menoleh. Sampai saat Arkan sudah tak tahan, ia pun langsung menatap Kanaya tepat di mata.
Kanaya spontan menghentikan aksinya saat mata mereka beradu. Manik hitam legam itu menatap Kanaya begitu dalam. Kanaya mulai merasakan perasaan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Niatnya menjahili Arkan adalah ide yang buruk. Karena lagi-lagi dia yang kalah.
Arkan tersenyum miring. "Kenapa? Tadi katanya suruh lihat, kok tiba-tiba diem?" Kini giliran Arkan yang membalas.
Kanaya berdehem pelan lalu memperbaiki posisinya seperti semula. "Lo sering ke sini?" tanya Kanaya mengubah topik pembicaraan.
"Sering, tapi dulu," jawab Arkan.
Kanaya menatap lelaki itu. "Sama siapa? Teman-teman lo?" Kanaya kembali bertanya karena penasaran.
"Nggak usah kepo!" tekan Arkan.
"Dih, ya udah kalau nggak mau bilang, nggak usah!" ketus Kanaya lalu membuang muka.
'Padahal, kan, gue penasaran. Jangan-jangan sama cewek, terus gue cewek kesekian yang udah dia bawa ke sini, wah nih cowok play boy juga,' batin Kanaya asal menyimpulkan.
Melihat raut wajah Kanaya yang seperti sedang memikirkan sesuatu, membuat Arkan memutuskan untuk bertanya. "Lo lagi mikirin siapa aja yang udah gue bawa ke sini?" tebak Arkan asal namun tepat sasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Fiksi Remaja[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...