Pukul 3 pagi, Lona terbangun dengan rasa sakit yang hebat di kepalanya. Itu adalah hal yang wajar mengingat penyakitnya yang bisa dibilang semakin parah.
Wanita paruh baya itu melangkah menuju kamar putrinya. Ketika membuka pintu, Lona dapat melihat sosok Kanaya yang sedang tertidur pulas.
Ia jadi tidak enak untuk membangunkannya. Lalu ia harus meminta bantuan kepada siapa? Dirga? Pria itu tidak pulang malam ini. Tak ada tempat yang terpikirkan oleh Lona selain rumah istri keduanya.
Ya, Lona tahu semuanya. Namun, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan hanyalah diam dan tak berbuat apa-apa. Dan tentu saja semua itu ada alasannya.
Satu hal yang Lona inginkan saat ini adalah hidup lebih lama. Ia sangat berharap Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk melihat senyum cantik dari Kanaya.
Lona duduk di ranjang, tepat di samping Kanaya terlelap saat ini. Dielusnya surai indah itu. "Maafin, Bunda, sayang. Bunda belum bisa menjadi Ibu yang baik buat kamu." Mata Lona mulai berkaca-kaca.
"Kamu kenapa kuat banget, Kanay?" tanya Lona pada jiwa yang sedang tertidur itu.
"B-bunda cuma takut." Lona menggantungkan ucapannya, berusaha untuk menahan lebih lama rasa sakit kepalanya yang semakin menjadi. "Bunda takut dipanggil sama Tuhan, sebelum melihat kamu bahagia," pungkasnya sembari menyeka air matanya yang sedari tadi jatuh membasahi pipinya.
Tanpa Lona sadari, ternyata Kanaya sudah terbangun sejak ia masuk ke kamarnya tadi. Kanaya menggigit bibir bawahnya agar suara tangisannya tidak terdengar.
Tak ada alasan untuk tidak mengeluarkan air mata. Rasa sesak kembali merayap di dada. Bahkan bantal gadis itu telah basah karena derai air mata.
Lona menghela nafas berat. Wanita paruh baya itu spontan memegang kepalanya ketika rasa sakit seakan ingin menghancurkan kepalanya. Rasanya ia tak sanggup untuk menahannya.
Namun, lagi-lagi Lona mencoba untuk tetap kuat. Setiap mengingat semua hal yang Kanaya lewati karena dirinya dan juga Dirga, membuat Lona merasa pantas mendapatkan semua ini. Rasa sakit ini pasti tidak seberapa dengan apa yang putrinya rasakan.
Lona bahkan menganggap dirinya sebagai ibu terburuk yang pernah ada.
•••
Angin sepoi-sepoi siang hari ini, menerpa lembut kulit mulus Kanaya. Duduk santai di rooftop sekolah sembari menikmati sejuknya angin yang berhembus pelan, membuat siapapun pasti akan merasa damai.
Namun sayang, sejuknya angin hari ini tak mampu menyejukkan hati Kanaya yang sedari tadi tak berhenti melontarkan sumpah serapah kepada lelaki di hadapannya, yang tak lain adalah Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Fiksi Remaja[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...