Hari demi hari berlalu, tak begitu banyak hal yang berubah. Hanya saja Arkan dan Kanaya tidak sedekat dulu lagi, seperti ada jarak yang tercipta begitu saja. Namun mereka jelas sadar dengan apa yang mereka rasakan.
Kanaya lebih sering bersama Jane dan Kai, sementara Arkan sibuk latihan untuk pertandingan basket yang akan di laksanakan besok.
Sejak nasihat yang Aya berikan kepada Arkan, ia perlahan berusaha untuk memahami perasaannya sendiri. Memang tak semudah itu karena sampai saat ini Arkan masih tak paham dengan dirinya sendiri.
Jam istirahat pertama, Gio dan Eja berjalan menuju lapangan basket outdoor, mendapati Arkan yang sedang men-dribble bola dan memasukkannya ke dalam ring basket. Tak ada siapa-siapa selain dirinya.
Lelaki itu mengusap kasar keringat yang jatuh di pelipisnya kemudian lanjut memainkan bola basket dengan sangat lihai. Detik berikutnya bola itu ia buang ke sembarang arah kemudian Arkan menepi dan duduk di bangku panjang di tepi lapangan.
Arkan meminum air minumannya, namun sorot tajamnya tak lepas dari seorang gadis yang kini tengah bercanda ria dengan laki-laki yang sangat ia tak sukai. Arkan benar-benar benci melihat mereka berdua bersama.
Gio dan Eja masih berdiri tak jauh dari tempat Arkan duduk, mereka menatap Arkan penuh tanya. Namun, satu yang dapat mereka simpulkan, Arkan sedang berada dalam suasana hati yang buruk.
"Menurut lo dia kenapa lagi?" tanya Gio berbisik kepada Eja.
"Uang jajannya dipotong sama Kak Aya kali?" tebak Eja.
Gio terlihat berpikir. "Kayaknya nggak mungkin dia marah karena itu."
Seakan menyadari sesuatu, Eja lalu tersenyum penuh arti. "Oh gue tau nih, pasti karena-"
"Mau sampai kapan kalian berdiri di situ? Yang lain mana? Kalian serius nggak sih latihan?!" seru Arkan sedikit berteriak.
Gio dan Eja hanya bisa menghela napas panjang, sudah paham dan terbiasa dengan sifat Arkan yang seperti itu. Kalau sedang marah, ia pasti melampiaskannya kepada orang di sekitarnya. Mereka berdua pun akhirnya berjalan mendekati Arkan, kemudian duduk di samping lelaki itu.
"Lo kenapa lagi sih?" tanya Eja begitu penasaran.
"Kesel juga gue lama-lama," sahut Gio
"Kok jadi lo yang kesel?" Eja bertanya.
"Dia marah-marah mulu kok nggak tua-tua, ya? Emang nggak ada keadilan di dunia ini," lanjut Gio membuat Eja sangat ingin menendangnya sampai langit ke tujuh.
"Besok kita tanding dan kalian nggak becus! Latihan aja telat," omel Arkan kesal.
"Aneh banget lo, biasanya juga kita latihan kalau udah pulang." Eja berucap.
"Tau lo, kalau ada masalah nggak usah bawa-bawa kita, Kan. Selesain masalah lo baik-baik jangan cuma tau marah-marah," Gio menimpali.
Arkan menatap Gio sejenak, dan memilih untuk menyimpan kata-katanya. Gio dan Eja ikut duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Teen Fiction[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...