➖ MMH - 9 ➖

8K 480 11
                                    

Gena terdiam, menatap bangunan berlantai dua di depannya yang dihiasi oleh pernak-pernik lampu gantung dan juga beberapa tanaman yang menghiasi perkarangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gena terdiam, menatap bangunan berlantai dua di depannya yang dihiasi oleh pernak-pernik lampu gantung dan juga beberapa tanaman yang menghiasi perkarangan. Teduh dan indah.

Rumah Ajun tentu saja jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan rumahnya di Bogor. Mungkin jika dihitung-hitung rumahnya hanya sebagian dari rumah Ajun.

Tapi yang sekarang menjadi pikiran Gena bukanlah berapa hektar rumah Ajun. Tetapi, bagaimana gadis itu harus bersikap di depan keluarga Ajun. Terutama kedua orang tuanya.

Ini sungguh terlalu cepat. Gena bahkan belum mempersiapkan nyalinya untuk berhadapan langsung dengan keluarga laki-laki itu. Takut-takut jika dirinya salah bertingkah atau salah ucap.

Tapi bagaimana lagi, sekarang mereka sudah sampai di depan rumah besar keluarga Ajun. Mungkin Gena akan banyak diam dan bersikap sesopan mungkin.

"Kenapa diem?"

Gena tersentak, gadis itu menoleh pada Ajun yang sudah berjalan lebih dulu dengan tangan yang membawa boks jajanan pasar yang sempat mereka beli tadi di minimarket.

Dengan langkah pelan dan ada unsur disengaja agar lama, Gena mengikuti Ajun di belakang laki-laki itu. Tangannya dingin dan dia gugup. Padahal seharusnya Gena tidak usah bersikap berlebihan begini.

"Ge." Gena yang sedari tadi mengukur langkah kakinya agar kecil-kecil seperti semut, langsung terdiam dan membeku ketika Ajun melangkah kembali ke arahnya. "Mau sampe depan pintu lebaran nanti?" tanya laki-laki itu sedikit sebal sekaligus gemas.

Gadis itu segera menggelengkan kepalanya dan mempersilahkan Ajun untuk kembali berjalan di depannya dengan menggerakkan tangannya. Apa Ajun tidak pernah merasa seperti dirinya sekarang ketika pertama kali diajak ke rumah orang tua Farya.

Ajun menghela napasnya kasar dan berbalik, kembali berjalan menuju pintu rumahnya yang tinggi dan lebar.

Sedangkan Gena yang sedari tadi menarik napasnya dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Begitu saja hingga dia berdiri di belakang Ajun menunggu pintu besar itu dibuka. Kedua tangannya saling bertaut di depan perut.

"Mungkin Mama nanti nyuruh kita untuk nginep. Karna sudah terlalu malam," bisik Ajun membuat Gena mendongak menatapnya.

"Hah? Apa?" tanya Gadis itu tidak begitu mendengar apa yang Ajun katakan. Yang Gena dengar hanya empat kata di kalimat belakang. Yang memberitahu jika sekarang sudah larut malam. "Iya udah malam," sahut Gena tidak nyambung karena dia yang beneran tidak mendengar penuh ucapan Ajun barusan.

Laki-laki yang berdiri di depan gadis itu memutar bola mata malas sembari menghembuskan napasnya kasar. Baru saja Ajun ingin kembali angkat bicara, pintu besar di depannya sudah terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan daster pink bercorak bunga-bunga.

Mata Mata Harimu [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang