CHAPTER 10

17 2 0
                                    

-Alicia-

Jajaran bus sekolah bercat merah dongker yang mulai dimasuki oleh penumpang masing-masing, kupandangi dari pintu parkir. Bus yang biasa kunaiki masih terdiam di areal dua. Apa aku akan menaikinya lagi? Atau tawaran Gena tadi pagi hanya berlaku untuk hari ini saja?

Berpikir tentang Gena, aku sudah tidak melihat mobilnya di tempat parkir. Dia pasti sudah pergi. Masalah besar yang tadi dibahasnya bersama Xander benar-benar membuat dia terpukul dan sedih. Setiap aku memandang padanya di kelas tadi, dia hanya menunduk dan sebentar kemudian menangis diam-diam di sudut belakang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya. Aku juga tidak tahu apakah aku harus mendatanginya lebih dulu dan berkata jujur, bahwa aku mendengar pembicaraan mereka atau tetap diam seperti tidak mengetahui apa-apa. Aku bingung.

Kuembuskan napas kuat-kuat. Aku kembali melihat bus di areal dua yang sudah dimasuki oleh Mr. Benson. Jika aku naik, aku khawatir Rebecca akan membinasakanku di depan seluruh penumpang bus sekolah. Sudah kuputuskan. Aku berbalik dan melangkah keluar.

Di dalam kompleks Harold Duarte School tidak mungkin ada kendaraan umum yang lewat. Kecuali, berjalan dulu hingga ke gerbang besar yang jauhnya hampir satu kilometer dari gedung high school dan menunggu kendaraan di jalan utama. Lebih baik begitu daripada membayangkan hal buruk yang akan menimpaku bila tetap memberanikan diri naik bus sekolah.

Aku berjalan terus menyusuri trotoar jalanan kompleks Harold Duarte, beramai-ramai dengan murid lainnya yang tak menaiki bus sekolah. Di antara sekian banyak murid yang berbondong-bondong melangkah menuju gerbang besar, tidak ada yang tahu siapa aku, tidak ada yang kukenal, dan tidak ada yang memedulikanku. Ini jauh lebih baik.

Aku pun berdiri di trotoar menunggu taksi lewat setibanya di gerbang besar. Kupandangi bus sekolah yang lewat satu per satu. Mereka tak sadar kalau ada satu penumpangnya yang sedang berdiri di pinggir jalan, tanpa ada niatan untuk mengajak masuk. Aku lihat dengan saksama bus yang biasa kunaiki saat lewat di hadapanku. Kursi yang biasa dihuni Rebecca dan Xander juga kosong.

Beberapa menit berikutnya, kendaraan berwarna kuning yang sudah kutunggu sejak tadi siap lewat. Kulambaikan tangan dan mobil itu berhenti. Aku masuk, duduk di kursi penumpang.

"Rextait Street, Sir!" Ucapku lalu sopir taksi kembali melaju.

Hari yang sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tapi juga pikiran, dan hati. "Hhhh." Aku mengembuskan napas berat. Anggap semua yang kualami hari ini, tidak pernah terjadi, dan kembali menjalani hidup tanpa mengingat-ingat itu semua. Terus saja melihat ke depan dan buang jauh-jauh hal yang bisa membuatku gila setiap saat bila aku memikirkannya lagi.

Kusandarkan kepalaku ke jendela dan menatap lurus kursi kemudi yang ada di depanku. Aku merasa taksi melambat. Traffic light di depan sana berwarna merah. Sebentar lagi aku akan memasuki kawasan Rextait Street, di mana rumahku berada. Tak butuh waktu lama memang jarak tempuh dari sekolah ke rumahku, karena hanya beberapa blok bahkan sebenarnya aku bisa pulang pergi dengan berjalan kaki. Tapi aku khawatir, bahaya akan datang bila aku melakukan itu.

Papan detik berwarna merah di atas traffic light masih menunjukkan angka sembilan puluh saat aku mengembuskan napas lagi, antara melamun dan berpikir, apakah menyuruh sopir taksi untuk tetap mengantarku ke rumah atau berkeliling ke suatu tempat yang sudah Gena tunjukkan kemarin demi menghibur diri sendiri. Aku tak tahu. Rasanya sama saja. Di rumah aku akan mati kebosanan, di luar nyawaku bisa terancam sewaktu-waktu seperti di Yellow Moon.

Tuk!

Di tengah pikiran kalutku, aku mendengar suara.

Tuk!

Apa itu?

Tuk!

Aku mendengar lagi dan ternyata suara itu berasal dari sesuatu yang menyentuh kaca jendela yang sedang kusandari. Aku pun menoleh. Bukan hanya suara, melainkan tangan lengkap dengan raut wajah pemiliknya muncul dari balik jendela taksi. Dia tersenyum penuh arti. Sepersekian detik otakku mengolah informasi dan refleks aku memundurkan tubuh sejauh mungkin ketika sadar siapa dia.

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang