-Alicia-
Aku masih tidak percaya kalau ayah menemaniku sarapan pagi ini. Biasanya ayah pulang kantor saat aku sudah tidur dan berangkat lebih awal sebelum aku selesai bersiap menuju sekolah. Terakhir kali aku duduk berdua dengannya saat hari pertama aku masuk sekolah di Harold Duarte. Dia sengaja tidak pergi ke kantor hari ini. Mungkin karena mendengar laporan Bibi Roewi, yang aku yakin telah didramatisir sehingga ayah memilih untuk tidak masuk kerja. Setidaknya ayah masih memikirkanku.
Kalau begini, jadi ingin sakit setiap hari supaya bisa terus bersama. Sebenarnya keadaanku mulai membaik, tapi ayah menyarankanku untuk pergi ke rumah sakit. Itu tidak perlu. Asalkan ayah berada terus di dekatku, aku pasti akan sehat.
"Ada temanmu tadi yang menelepon." Ucap ayah di sela mengunyah.
Aku mengangkat alis. Pasti Gena. Siapa lagi temanku di sekolah yang akan menelepon kalau bukan dia.
"Dia akan mampir nanti sepulang sekolah." Lanjut ayah. "Dia tidak akan menjemputmu karena ayah sudah menyampaikan kalau kau tidak masuk hari ini."
Aku tak menyahut dan kembali memakan sup. Nafsu makanku memang belum kembali sepenuhnya, tapi setidaknya sudah ada makanan yang mau masuk sejak kemarin.
Kulirik dari sudut mata, ayah masih memperhatikanku. Ini kesempatan baik untuk menceritakan semua hal yang kualami beberapa bulan terakhir. Aku ingin ayah tahu bahwa aku benar-benar sedang tersiksa dan membutuhkan perhatian lebih darinya. Aku ingin mengungkapkan semua hal. Aku tidak peduli dengan reaksi ayah setelah ini, yang penting aku menumpahkan semua isi hatiku.
Tapi, apakah aku berani?"Ayah..." Aku meletakkan sendok kemudian menoleh padanya.
Ayah menatapku. Aku membaca air mukanya bahwa dia menungguku untuk berterus terang tentang apa yang terjadi.
"Aku..." Ucapanku terhenti. "Aku... Aku... Suka perpustakaan sekolah." Tidak! Kenapa itu yang kuucapkan?
Ayah mengerutkan kening. "Kau suka... perpustakaan sekolah?"
"Koleksi bukunya sangat lengkap. Aku bisa berlama-lama di sana..." lanjutku dan kembali menyuap sup. Ternyata aku tidak berani mengatakannya. Tiba-tiba saja nyaliku menciut dan perasaan takut menyergapku.
Ayah mengelap mulutnya. "Ayah harus mengantarmu ke rumah sakit." Dan kami melanjutkan makan tanpa ada yang harus dibahas lagi.
# # #
Gena datang menjengukku sore ini. Dia menepati janjinya. Banyak sekali makanan yang dia bawa untuk kukonsumsi. Kali ini dia tidak sendirian. Aku melihat sosok Xander juga tadi dari atas sini. Dia menunggu di bawah. Ayah yang menemuinya. Kuharap ayah tidak bosan, mengingat kalimat yang Xander ucapkan tidak pernah lebih dari kalimatku.
"Akhirnya aku bertemu juga dengan Mr. Chavelier." Itu yang diucapkan Gena saat tiba di kamar. "Tapi, kenapa wajah Mr. Chavelier begitu murung? Apa sesuatu yang buruk menimpamu, Alicia?" Gena bertanya dan duduk di tempat tidur bersamaku.
Ayah murung? Benarkah? Mungkin sesuatu sedang terjadi di kantor karena dia cuti kerja hari ini. Aku mengangkat bahu dan menyembunyikan semua hal seperti yang telah kulakukan selama ini. Aku tidak ingin Gena tahu, aku tidak ingin orang-orang tahu. Aku belum siap.
"Benar tidak ada apa-apa? Tapi sepertinya, dia baru menangis." Gena masih mencari tahu. Aku tidak suka jika dia memulai investigasinya seperti ini.
Menangis? Tidak mungkin. Dia pasti salah lihat. "Tidak apa-apa Gena. Percayalah padaku. Dokter juga tidak memvonisku macam-macam dan besok aku sudah bisa masuk sekolah." Aku menegaskan kalimatku agar dia tidak lagi bertanya panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
ChickLitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...