CHAPTER 15

21 2 0
                                    

-Alicia-

Mungkin hari ini akan menjadi hari paling bersejarah selama aku sekolah semenjak ibu tiada. Ayah mengantarku lagi. Aku begitu bahagia. Tak terungkapkan rasanya bisa melihat ayah menjalankan tugasnya lagi sebagai seorang 'ayah'. Sepertinya kejadian ini sungguh membuatnya ingin selalu bersamaku. Meski letak kantornya cukup jauh bila mengantarku ke sekolah terlebih dahulu, itu sudah tak jadi masalah baginya.

"Telepon Ayah jika kau ingin dijemput nanti, Sweetheart." Panggilan yang aku rindukan kembali Ayah lontarkan, sebelum aku turun dari mobil di depan gerbang sekolah.

Aku tidak menjawab melainkan pelukan erat yang kulakukan sebagai balasan kalimatnya.

"Ayah menyayangimu, Nak." Dan mengecup dahiku beberapa saat.

Aku turun dari mobil dengan perasaan yang sungguh lain dari biasanya. Berbeda sekali dengan kondisi fisikku yang masih belum membaik sepenuhnya. Setidaknya aku mendapat setengah dari kepercayaan diriku telah kembali. Senyuman pun terukir di wajah untuk pertama kalinya selama aku menjejakkan kaki di gerbang Harold Duarte.

Selepas ayah pergi, aku membuka note di ponsel dan mengecek lagi pelajaran pertama hari ini. Kimia di laboratorium right building. Aku mengerutkan dahi. Sepertinya Mr. George sedang menemani murid lomba ilmiah minggu ini. Kalau aku tidak salah mengingat pesannya saat terakhir dia mengisi kelas minggu lalu.

Ponselku bergetar, ada pesan masuk dari Gena. "Jam kosong pelajaran pertama kita ke perpustakaan saja, bagaimana?" Gumamku.

"Oke." Balasku tanpa ragu dan kembali memasukkan ponsel ke dalam blazer bersiap masuk halaman sekolah. Namun sebuah suara yang memanggil, membuatku urung.

"Alicia..." Suara itu, berhasil melenyapkan senyumku dan diam terpaku. Jangan-jangan suara dalam kepalaku muncul lagi. Oh tidak! Jangan di saat seperti ini, aku tidak ingin pingsan lagi dan membuat Gena repot untuk kesekian kalinya.

"Alicia..." Bukan, suara ini bukan dari kepalaku. Melainkan... aku menoleh dan terkesiap. Mataku melebar seketika. Kuharap pandanganku salah.

"Alicia..." Panggilnya lagi, memandangku dengan tatapannya yang sungguh membuatku tercekat. Dulu, tatapan itu yang selalu dia lontarkan tiap kali bertemu denganku.

Dia berjalan mendekat. Berdiri tepat di depanku. Tangannya tanpa ragu meraih lenganku. Kali ini aku benar-benar tak bisa kabur. Aku pun tak tahu harus bereaksi bagaimana. Banyak murid yang berlalu lalang di sekitar kami, menatap ingin tahu. Tetapi dia tak peduli. Aku menurunkan pandangan untuk melihat pakaiannya. Jas seragam Harold Duarte University. Aku teringat pada pertemuanku dengannya di pantai. Dia ikut pertandingan selancar antar murid Harold Duarte School. Jadi, dia benar-benar pelajar sekolah ini juga!

Dia membawaku menepi dari gerbang, menjauh dari kerumunan dan lalu lalang murid lainnya. Dia pun menyentuh kedua bahuku saat kami berada cukup jauh dari keramaian. Membuatku menatap lagi ke kedalaman matanya. Mata cokelat jernih yang selalu menghujamku dengan rasa cintanya yang berkobar. Baru kali ini aku berani lagi menatap itu. Dia yang membuatku berbahagia, sebelum akhirnya membantingku hingga terpuruk. Dia yang membuat luka dalam di diriku. Dia yang bahkan mengingat namanya saja sudah membuatku merasa tercekik. Dia tak akan berani berbuat macam-macam di keramaian seperti ini. Jadi, aku menunggu apa yang akan dilakukannya.

Bruk!

Sedetik berikutnya, dia sudah berlutut di hadapanku sambil menunduk. Aku tersentak mengetahui apa yang baru saja dia lakukan. Bodoh! Dia kira dengan begitu akan mendapatkan simpatiku?

"Maafkan aku, Alicia." Suaranya bergetar. Suara yang selama ini membuatku takut, kini terdengar menyedihkan. "Maafkan aku telah jahat padamu." Dia menjatuhkan tubuhnya ke depan. Ke ujung kakiku. Bersujud di hadapanku. Orang-orang di sekitar mendadak berhenti dan melihat ke arah kami. Semuanya tampak terkejut dan ingin tahu.

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang