CHAPTER 03

34 2 0
                                    

-Alicia-

Aku menaikkan resleting jaket hingga leher sambil sesekali melihat jam dinding. Pukul delapan tepat. "Aku keluar, Bi." pamitku pada Bibi Roewi, seseorang yang begitu berjasa dalam hidup keluargaku.

"Nona, mau ke mana? Ini sudah malam." beliau tak langsung mengiyakan.

"Hanya sebentar." Sahutku.

"Tapi, kalau Tuan datang dan menanyakan Nona, apa yang harus Bibi katakan?" Bibi Roewi begitu cemas.

"Bilang saja tidak tahu." Lagipula, aku yakin ayah tidak akan pulang malam ini. Sekali pun pulang, dia tidak akan menanyaiku dan langsung pergi tidur.

"Nona jangan begitu. Tuan sangat menyayangi Nona."

Aku tidak yakin. Begitulah Bibi Roewi, selalu membela ayah. Membuat seakan dia adalah ayah terbaik yang pernah ada. Meski jelas-jelas dia lebih menyayangi kantor daripada putri semata wayangnya sendiri. Sampai-sampai tidak tahu atau tidak mau tahu apa yang sedang terjadi padaku.

Aku hanya menarik napas panjang. Seandainya ibu masih ada, semua ini tidak mungkin terjadi.

"Aku pergi." ujarku keras kepala sambil tersenyum, memperlihatkan bahwa masih ada perasaan bahagia di hati walaupun sedikit sekali.

"Hati-hati, Nona." Bibi Roewi memberi izin meski berat hati.

Aku berjalan keluar rumah. Bibi Roewi mengantarku hingga teras.

"Aku tidak apa-apa. Bibi masuk saja." Kulambaikan tangan dan berjalan melewati halaman rumah, menyeberangi jalan raya yang diterangi lampu jalanan.

Setibanya di seberang, aku berhenti sejenak. Menatap gemerlap papan lampu café. Di tempat itu, tepat seminggu lalu, aku memutuskan untuk pergi tanpa sempat menghabiskan cokelat panas yang kupesan. Malam ini, aku memberanikan diri untuk berkunjung lagi. Sebab aku pernah mendengar, bila seseorang memiliki ketakutan pada sesuatu, menghindar bukan cara yang tepat. Melainkan lawanlah hal tersebut.

Mungkin juga waktu itu hanya kebetulan, atau aku yang berhalusinasi. Tapi jika memang kebetulan, mengapa begitu menyebalkan dan bikin sesak? Aku ingin sekali menikmati kesendirian sembari menatap lukisan siluet gadis di bawah rembulan. Semoga saja kali ini nasib baik berpihak padaku.

Aku berjalan di trotoar sambil memasukkan tangan ke saku jaket. Lima puluh meter di depan, terlihat semakin jelas papan besar dengan lampu warna-warni bertuliskan 'La Deluxe Café'. Kali ini pun kelihatannya cukup ramai karena kendaraan memenuhi lahan parkirnya.

Kakiku terus saja melangkah melawan angin malam yang mulai menusuk-nusuk kulit. Pandanganku pun silau dengan lampu-lampu café yang membuat perubahaan pencahayaan drastis.

Kriring!

Bel yang tergantung di pintu berbunyi nyaring saat kudorong membuka.

"Selamat malam!" Seorang pelayan bersuara dan tersenyum manis padaku.

Aku hanya mengangguk dan memeriksa tempat duduk di sudut, tepat berhadapan dengan lukisan yang tempo hari membuatku jatuh hati. Kosong. Syukurlah. Sekilas aku merasakan sudut bibirku terangkat. Aku bisa menyembunyikan diriku lagi di sana. Segera kuhampiri dan duduk membelakangi orang-orang.

"Anda ingin pesan apa?" Pelayan yang tadi, sudah berada di sebelahku dan menyodorkan buku menu.

"Cokelat panas." ucapku segera tanpa perlu melihat buku menu. Pesanan minuman yang sama.

"Baik." Dia menarik lagi buku menu yang tadinya akan diangsurkan lalu meninggalkanku sendiri.

Kini aku bisa menikmati lukisan itu lagi. Rasanya seperti menghipnotisku. Apa boleh aku membeli lukisan ini dan membawanya pulang? Akan kugantung di kamar supaya aku bisa terus merasakan napas yang dihadirkan oleh sinar rembulan terhadap siluet si gadis. Beberapa detik aku terbenam dalam pikiranku. Apakah mungkin kehidupan yang kulalui ini adalah khayalan belaka? Namun mengingat semua yang terjadi sangat nyata dan selalu membayangi, rasanya ini adalah salah satu khayalan paling tidak menyenangkan. Ini semua terjadi. Memang terjadi dan aku tidak bisa menghentikannya.

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang