-Alicia-
Dari tiga kelas yang kuikuti tadi, aku memiliki jadwal yang sama dengan Gena. Dua di antaranya sama dengan Xander, dan buruknya juga dengan Rebecca. Nasibku benar-benar malang di hari pertama ini.
Jam istirahat berbunyi lima menit lalu. Sebenarnya, waktu seperti ini adalah waktu yang sangat kusuka di sekolahku terdahulu. Aku akan pergi makan siang bersama beberapa sahabatku dan kami akan terbahak karena membahas banyak hal lucu. Tak ada yang menatapku aneh dan semuanya berjalan normal. Tetapi semenjak aku pindah dan akan menjalani lagi hari-hari penyesuaian untuk menerima orang baru, justru hal ini menjadi waktu yang mengerikan.
Aku malas menghadapi orang asing dalam jumlah banyak seperti ini. Belum lagi, aku masih tak mengerti bagaimana kebiasaan jam istirahat sekolah ini. Apakah mereka suka makan dengan santai sambil mengobrol atau fokus menghabiskan isi baki tanpa bicara? Apakah tertib mengantri atau justru bertingkah bar-bar karena kelaparan?
Namun perut yang keroncongan membuatku berjalan juga di lorong ramai menuju kantin. Pintu ganda bercat putih itu terlihat mencolok di antara dinding berwarna navy. Dari kejauhan saja bisa kurasakan kalau terjadi antrian seru di dalam sana.
Aku perlahan mendekat dan langsung melongo melihat kepadatan itu. Semua meja hampir penuh. Antrian pun berjejalan. Aku urung melangkah masuk dan tetap berdiri di ambang pintu. Bersiap berbalik untuk pergi dari tempat ini. Tetapi sebuah suara yang memanggil dari arah sudut kantin, membuatku terdiam.
"Alicia!!"
Hmh? Aku mengangkat alis.
"Alicia!!"
Terdengar lagi. Apa benar suara itu memanggilku? Aku menggeleng. Ah, mungkin saja Alicia yang lain.
"ALICIA!! Kau yang di pintu!"
Jadi, suara itu benar-benar memanggilku? Kulihat seseorang melambai, memberi tanda tentang keberadaannya agar diketahui olehku. Aku memberanikan diri untuk memandang secara saksama. Dia Gena. Kekasih Xander. Sahabat Rebecca. Tampak sedang melotot padaku karena pangilannya tadi tak kurespons. Beberapa murid lain juga ikut menatap ke arahku karena sikapnya itu.
Oh tidak! Rasanya ingin bersembunyi saja di balik pintu.
Berbeda reaksi dengan Gena, Rebecca justru menatapku sinis.
"Kemari Alicia!" Gena melambaikan tangan lagi, menyuruhku mendekat. Dia tersenyum manis sekali. Perubahan ekspresinya sungguh menyenangkan.
Aku mengurungkan niat untuk pergi. Apakah sudah tiba kesempatan bagiku untuk membuka diri pada orang baru?
"Ayo, kemari!" panggil Gena lagi.
"Tentu saja Alicia! Jangan sampai sia-siakan kesempatan ini." Satu suara menumbuhkan keyakinanku. "Karena bila sampai kau tidak menghiraukannya, aku tidak yakin apa yang akan terjadi padamu setelah ini."
"Cepat kemari!" Kudengar Gena masih gigih memanggilku.
Aku pun memantapkan hati dan berjalan menuju meja itu. Hanya mereka berdua yang ada di sana.
"Duduk di sini!" Gena menepuk kursi yang ada di sebelah kanannya.
Aku menurut.
"Kau masih mengingatku, kan?" dia menunjuk dirinya sendiri setelah aku duduk sepenuhnya.
Aku mengangguk. Tentu saja. Siapa yang akan melupakan gadis cantik dan cerdas sepertimu? Di kelas tadi dia benar-benar hebat. Menjawab soal kalkulus secepat itu? Aku tak akan pernah lupa.
"Syukurlah!" Dia terlihat senang. "Kau ingat Rebecca juga, kan?" tanyanya lagi dan menunjuk gadis yang terus saja menatap tak suka padaku.
Aku tidak mungkin melupakannya. Dia orang pertama yang menyatakan dengan terang-terangan bahwa kehadiranku di sekolah ini bisa membuat dia menjadi drakula. Aku kembali mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
ChickLitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...