CHAPTER 18

34 2 0
                                    

-Alicia-

Pagi-pagi sekali Gena sudah datang, tepat saat jam besuk dibuka. Dia menggantikan ayah yang pamit pulang sebentar untuk mengambil pakaianku. Kini kami sarapan bersama, berbagi meja makan pasien. Aku bersandar di dinding sedangkan dia bersila di tempat tidur, saling berhadapan. Dia membawa menu sarapan yang dibelinya di kantin rumah sakit, berupa dua susun sandwich daging dan sayuran, puding cokelat, satu kotak donat berbagai rasa dan beberapa chips, juga satu botol susu dan jus jeruk. Sedangkan aku, sup labu kuning, beberapa irisan roti bertabur parsley dan mentega, juga scrumble egg. Menu rumah sakit yang enak bila dimakan dalam keadaan perut kosong. Mungkin sehabis ini aku akan meminta Gena untuk membelikanku pancake bersiram sirup maple dengan irisan stroberi juga blueberry di atasnya.

"Aku bertemu Tristan tadi di kantin rumah sakit. Apakah dia menginap?" Tanya Gena dengan mulutnya yang penuh sandwich.

Aku menyuap supku sambil mengedikkan bahu. "Entahlah. Sepertinya, iya. Karena semalam saat mencari kopi, ayah bilang bahwa Tristan tidur di depan kamarku tanpa alas apapun." Sahutku.

"Really?" Gena menatapku. "Dia keras kepala Alicia. Sudah lama aku mengenalnya. Dia pemuda yang gigih, dia juga sangat menyayangi ibunya, walaupun kadang agak liar. Tapi sebenarnya dia sangat baik dan bertanggung jawab. Aku tak percaya saat mengetahui ini semua. Tristan Stanford yang selalu membanggakan ternyata memiliki sisi kelam." Gena mengunyah lagi.

"Sisi alami manusia, Gena. Tak ada yang seratus persen baik, tak ada pula yang seratus persen jahat." Lanjutku.

Dia mengangguk. "Lalu, bagaimana kau akan menghadapinya?"

Aku kembali mengedikkan bahu. "Mungkin aku akan mengikuti arus. Kemana kehidupan ini membawaku, di situlah aku berusaha bertahan dan kuat. Seperti selama enam bulan ini. Sudah aku lalui semuanya sendirian dan sekarang di saat sudah banyak yang terungkap, ternyata justru aku tak sendiri lagi. Ayah, Bibi Roewi, dan kau semakin setia mendampingiku. Terima kasih, Gena." Aku menggenggam tangannya yang bebas.

Gena yang cantik dan penyayang, tersenyum tulus padaku. "Oh, jangan membuatku menangis lagi. Sudah cukup rasanya air mata ini terkuras." Dia mengucapkannya sambil berkedip-kedip dan menghapus ujung matanya perlahan.

Menangis? Aku baru sadar mata Gena yang sembab. Ada apa? Apakah ini tentang Xander lagi?

Gena menghirup hidungnya dan minum jus beberapa teguk. Lalu dia meletakkan sandwich-nya di meja. "Aku putus dengan X. Sudah tidak ada lagi yang bersisa dari hubungan kami sebagai kekasih."

Aku membelalak. Putus? Apakah dia lebih memilih Ivy dari pada dirimu? Tega sekali pemuda itu! Apakah hanya karena keinginan sesaat, Xander melepas Gena yang sudah setia menemaninya selama tiga tahun dan ganti berhubungan dengan gadis yang akan bertunangan dengan kakaknya itu?

"I'm sorry to hear that." Aku mendorong ke samping meja makan beroda di hadapan kami lalu menggeser dudukku dan memeluk Gena.

Dia pun tersedu-sedu. Pasti hatinya sakit sekali, diduakan dan ditinggalkan. Aku menyalurkan energi positifku yang masih tersisa untuk menenangkan hatinya melalui pelukan ini. Kuusap punggungnya perlahan dan tangisnya mulai mereda.

"Kami memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri." Ucapnya perlahan di sela isakannya. Dia duduk tegak kembali.

Aku melepaskan pelukanku, mengambil tisu di meja nakas dan membantu menghapus air matanya.

"Thank you, Alicia." Dia menerima tisu dariku dan menghapus sisa air matanya. "Kejadiannya begitu cepat kemarin. Saat kami, aku, X, dan Jared, kakak X yang juga merupakan sahabat Tristan, menunggumu sadar. Ivy tiba-tiba muncul di hadapan kami. Dia juga sedang berkunjung ke rumah sakit ini menjenguk temannya. Lalu dia datang ke hadapan kami dan di situlah semuanya terungkap, semua dijelaskan, dan semuanya berakhir. X tak memilih siapa-siapa. Kami sama-sama patah hati, Alicia." Gena menatap menerawang ke langit-langit kamar.

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang