-Alicia-
Hariku dimulai dengan siksaan penyebab hancurnya hati dan jiwa dari Rebecca. Kali ini dia menusuk-nusuk pundakku saat tahu bahwa aku duduk di sebelah Xander. Semua terjadi karena ada orang baru yang menghuni kursiku. Sepertinya anak itu ketinggalan bus sekolah lainnya, sehingga menumpang di bus ini. Dan aku terpaksa duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong, yaitu kursi di sebelah Xander, yang biasa ditempati oleh Rebecca.
Beberapa blok tadi, bus berhenti menurunkan anak itu dan bergantilah Rebecca yang naik kemudian duduk menggantikan kursi tadi. Entah apa yang dia lakukan di lingkungan ini? Biasanya bus menjemputnya terlebih dahulu daripada aku. Itulah kronologi bagaimana kini aku bisa tersiksa hanya karena duduk dengan Xander. Kurasa, sebentar lagi sandaran kursiku akan robek menembus pundak.
"Rasakan ini! Rasakan ini! Rasakan ini!" Ucapnya tajam sesuai dengan ritme ujung tutup pena yang mengenai bahuku.
Sakit. Aku hanya menyondongkan badan agak ke depan supaya dia tidak bisa menjangkaunya, tapi dia tetap menyiksaku.
"Berani-beraninya kau duduk di situ! Dasar tidak tahu diri! Kau gadis yang sangat menyebalkan!" Gerutuan Rebecca semakin memekakkan. Dia sengaja melakukan itu karena rasa kesalnya bertambah saat Xander semakin tak menghiraukannya dan justru membela serta menyuruhku untuk tetap duduk di kursi ini.
Ingin sekali aku menghantam kepala Rebecca dengan besi atau setir atau kusen jendela atau pintu bus, tapi lagi-lagi aku hanya diam dan pasrah saja atas ulahnya. Dia pasti berhenti sendiri jika kelelahan.
"Sakit kan!? Ayo bersandar! Cepat bersandar! Agar aku bisa semakin leluasa menusukmu!" Rebecca tetap mengoceh.
Pandangan murid di sekitar hanya bisa menatap prihatin, tanpa bisa melakukan pembelaan. Mungkin mereka lebih memilih tak berurusan dengan nenek sihir bernama Rebecca.
"Tenang Alicia, sebentar lagi akan sampai di sekolah." Lirihku dalam kepala, di sela gerakan Rebecca yang semakin intens menusukku. Tetapi tidak lama, aku mendengar sesuatu yang patah. Ctak!
Aku menoleh ke arah suara. Itu Xander. Dia yang sejak tadi membaca buku, sudah mematahkan pena Rebecca dengan jemarinya. Aku seperti orang bodoh melihat adegan barusan. Xander melemparkan potongan pena itu ke belakang, tepat mengenai kepala Rebecca. Ujung patahan yang lumayan lancip, menusuk dahinya.
"Ouch! Xander?! Apa yang kau lakukan?!" serunya. Semua penumpang bus semakin memperhatikan kami.
"Kau berisik." Suaranya begitu dingin tanpa mau menatap Rebecca. Lalu kembali melanjutkan membaca.
Bulu kudukku berdiri mendengar suaranya barusan. Sangat mengerikan.
Rebecca diam. Murid lainnya pun kembali pada kegiatan masing-masing. Aku merasa kalau mereka ikut campur, Xander akan menerkam mereka satu per satu. Rebecca tidak lagi menusuk-nusuk pundakku. Dia hanya menggerutu. Entah apa yang dikatakannya, yang jelas itu pasti sumpah serapah untukku.
Kusandarkan tubuhku kembali ke kursi. "Terima kasih." Ujarku pada Xander tanpa melihat wajahnya.
Dia tak menjawab. Kulirik sekilas, kepalanya masih menunduk dengan pandangan tetap tertancap ke buku yang dibaca.
# # #
Gadis yang kini tersenyum lebar dan berdiri di hadapanku adalah Gena. Aku baru saja selesai memasukkan buku ke tas dan bersiap untuk menyendiri di sudut lain right building ketika dia sudah berdiri di depan mejaku. Kenapa dia ada di sini? Bukankah dia harus berada di dekat kedua orang itu, Xander dan Rebecca?
"Masih ingat aku, Alicia?" pertanyaan yang selalu dia ajukan setiap menyapaku sambil menunjuk dirinya sendiri.
Aku mengangguk pelan. Tentu saja. Aku tidak amnesia. "Hai Gena." Sapaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
ChickLitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...