CHAPTER 01

83 4 6
                                    

-Alicia-

"Kalau kau sudah dewasa dan bisa bertanggung jawab pada dirimu sendiri, tak akan ada lagi perpindahan seperti ini." kalimat Ayah memecah kesunyian ruang makan.

Aku hanya melirik sekilas dari balik toast yang sedang kuoleskan mentega. Lagipula, apa maksud Ayah berkata begitu? Apakah aku baru saja mengatakan sesuatu tanpa sadar? Seingatku, tak ada kalimat terlontar dariku sejak tadi. Dan... Apa yang barusan Ayah katakan? Bertanggung jawab pada diriku sendiri? Bukankah selama ini aku sudah melakukan itu?

"Kau masih marah pada Ayah akan kepindahan ini, Alicia?" Ayah meletakkan pisau dan garpunya. Beliau meraih serbet dan mengelap sudut bibirnya yang ternodai sedikit selai.

Aku tidak menyahut dan terus saja menghias sarapanku. Kali ini dengan potongan keju dan selai cokelat.

Bukannya tanpa alasan mengapa aku memutuskan untuk tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak semalam. Aku sudah bosan untuk protes. Aku juga sudah bosan untuk menghadapi sekolah baru dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun saja. Aku pun malas berkenalan lagi dengan wajah yang belum pernah kujumpai dan sama sekali tidak kukenal. Malas menghafal nama-nama, juga malas bertanya-tanya di mana letak kelasku.

"Kau tidak mau menjawab? Kau memilih mendiamkan Ayah?"

"Hhh." Aku menarik napas panjang dan memakan sarapanku.
Kraus! Kraus! Kraus!

"Desahan napas bukan suatu jawaban, Alicia." Ayah tetap saja menatapku.

Aku memilih menunduk memandang piring. Memangnya kalau aku berpendapat, Ayah akan mendengarkan? Tidak, Sir. Lakukan saja apapun keinginan Anda. Tak perlu pedulikan anak gembel ini. Aku kembali mengunyah. Kraus! Kraus!

Ponsel Ayah berbunyi tepat sebelum beliau mencecarku lagi. Jujur, alat itu benar-benar membuatku cemburu. Ayah bisa melupakan dan menganggapku tidak pernah ada bila sudah mengobrol dengan lawan bicaranya.

Bibirku mengatup dan semakin menelan suaraku agar tak terucap.

Perfeksionis. Satu kata itu sudah cukup menggambarkan sosok Mr. James Chavelier, ayahku, bila menghadapi pekerjaan. Beliau menjalani karirnya dengan sempurna. Setiap dua atau tiga tahun, akan dipindah tugas demi promosi.

Namun, semua itu berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Apalagi semenjak ibu meninggal. Ayah semakin terobsesi dan menyibukkan diri di kantor. Mungkin itu satu-satunya cara untuk melupakan kesedihan serta rasa kesepian ditinggal ibu.

"Halo?" Ayah sudah sibuk berbicara dengan entah siapa.

Aku jadi tak berselera makan. Kuminum susu hanya setengah gelas kemudian beranjak ke ruang tengah untuk mengambil tas yang kuletakkan di salah satu sofa.

"Lima menit lagi bus sekolahmu akan tiba!" kudengar langkah Ayah menjauh.

Apa kata Ayah barusan? Bus sekolah? Aku akan naik bus sekolah? Mengetahui fakta baru itu, membuat bahuku semakin terkulai.

Ayah tidak menyusulku ke ruang depan, melainkan memilih jalan lewat pintu samping yang menghubungkan ke garasi. Tidak lama kemudian, mobil menyala lalu suaranya perlahan menghilang.

Hidupmu sungguh sempurna, Alicia!

# # #

Aku berdiri di depan pagar rumah, mengikuti intruksi Ayah untuk naik kendaraan itu. Sebuah bus Volkswagen klasik berwarna merah-navy bertuliskan School Bus di atasnya, mulai mendekat. Mungkin warna itu warna kebesaran sekolahku yang baru karena seragamku juga berwarna senada. Ada gambar lambang sekolah lengkap dengan namanya, Harold Duarte School.

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang