-Alicia-
Aku membuka mata perlahan. Kepalaku terasa berat. Ruangan serba putih tertangkap oleh penglihatanku yang masih remang. Bau obat menyeruak menusuk hidung. Dimana ini? Mataku yang terbuka separuh begitu asing. Ini bukan ruangan klinik high school. Kurasakan sebuah tangan besar dan kuat menggenggam erat tangan kananku. Sementara tangan kiri serasa digantungi oleh sesuatu. Apakah aku di rumah sakit?
"Alicia?"
Suara itu lagi. Oh tidak! Harus berapa lama aku terjebak dalam mimpi buruk yang serasa nyata ini?
"Kau sadar?"
Pandanganku yang mulai jelas, memperhatikan lebih saksama. Ternyata ini bukan mimpi. Tanganku sudah diinfus dan seragamku kini berganti piyama pasien. Benar. Aku di rumah sakit.
"Syukurlah..." ucapnya sambil menatap lembut ke dalam mataku. Dia sungguh lega. Dia menempelkan dahinya di pelipis kanan. Kurasakan napas hangat menerpa lembut bagian samping wajahku, tanganku tetap di genggamnya. Pasti dia yang membawaku kemari. Aku tak sanggup berteriak. Aku terlalu lemah untuk kabur dari semua ini.
Tiba-tiba, setetes air menyentuh pipiku. Dia menangis. Terisak sangat pelan. "Aku sangat berdosa padamu. Maafkan aku, Alicia. Maafkan tindakanku sehingga kau tersiksa terus seperti ini. Aku bersedia dihukum berat, asal kau mau memaafkanku." Bisiknya lemah di sela tangisannya.
Aku bisa menangkap rasa bersalah dan penyesalan mendalam, bercampur seiring tetesan air matanya.
Aku diam. Entah harus bereaksi bagaimana atas penyesalannya ini. Tak ada air mata yang keluar dariku. Sudah cukup aku menangis selama ini. Bisa kubayangkan jika saat itu aku tak bertemu dengannya, pasti sekarang aku bisa menjalani kehidupanku tanpa terbebani apapun. Namun aku berpikir lagi, justru dengan adanya kejadian ini, ayah kembali lagi padaku. Melindungi putrinya yang selama ini telah dia sia-siakan. Bisa mengesampingkan pekerjaannya demi mengantarku ke sekolah lagi, mendengarkan ceritaku, dan memberiku kasih sayang yang kubutuhkan. Entahlah, aku tak tahu bagaimana cara menggambarkan suasana hatiku sekarang.
Dia masih terisak pelan untuk beberapa saat. Kemudian mengangkat wajahnya, menatapku lagi. Tatapan yang sama saat dia dengan penuh perhatian menemaniku di perjalanan itu. Tatapan yang bila kuartikan seseorang yang tak ingin lagi mengulangi kekhilafannya. Tatapan penuh kasih dan meminta ampunan.
Beberapa saat kemudian, dia menghapus air matanya. Menegakkan badan untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku melihat dia memunggungiku sesaat, melepas sepatunya dan menyingkap sebagian selimutku untuk menyusupkan kedua kakinya di dalam. Berbaring di sampingku, mengangkat kepalaku perlahan dengan tangan kanannya, menyisipkan lengan kirinya ke bawah leherku dan miring menghadapku. Kemudian menarikku ke dalam dekapannya. Erat. Sangat erat. Aku bisa menghirup lagi aroma tubuhnya. Aroma yang sama. Dekapan yang sama dan kali ini aku merasa, dia tidak akan membahayakan diriku.
__________
-Jared-
Kudapati Tristan yang sangat terpukul sedang menatap Alicia, tergolek begitu tak berdaya di hadapannya. Wajah Tristan tak luput dari perasaan bersalah semenjak aku mengikutinya tadi.
Aku mendengar suara kaki di koridor dan menoleh. Gena datang tergesa bersama X yang mengikutinya di belakang. Satu lagi pasangan yang tak bisa terpisah namun juga tersakiti dan menyakiti, datang. Kau masih mencintai Gena, X, tapi mengapa kau menduakannya? Aku sama sekali belum memahami dan terus membuatku berpikir. Di satu sisi, cinta begitu egois sampai-sampai kau tak peduli dengan perasaan orang yang juga mencintaimu. Di satu sisi lagi, membuatmu rela menyakiti demi menyalurkan perasaanmu. Apakah harus begini cinta itu?
Kulihat wajah Gena begitu cemas dan membaca nomor di setiap pintu. Sepertinya dia belum menyadari keberadaanku. Aku melambai dan X yang lebih dulu melihat, memberi isyarat pada Gena.
"Jared?!" Serunya dan berjalan semakin cepat.
Aku mengangguk. "Kau mencari Alicia?" Aku mendahului sebelum Gena sempat bertanya lagi. "Dia di dalam, bersama Tristan." Tunjukku ke pintu tepat di depanku.
"Tristan? Tristan Stanford? Untuk apa dia di sini?" Aku sudah menduga pertanyaan itu akan terlontar dari Gena. Dia menatap dari jendela yang gordennya terbuka sedikit.
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuberitahu." Ucapku.
Gena masih butuh penjelasan, namun pemandangan dari dalam kamar membuat kami terdiam dengan perlakuan Tristan yang selalu begitu pada Alicia. Kami menatap mereka dengan pandangan berbeda, kuyakin. Pasti banyak pertanyaan akan Gena lontarkan setelah ini.
"Tristan? Apa yang Tristan lakukan?" Gena bergumam saat Tristan ikut merebahkan badannya di tempat tidur dan memeluk Alicia begitu erat. "Jared?" Dia menoleh padaku dan menatap penuh tanya.
"Oke, kau butuh penjelasan dan aku butuh kursi juga sedikit pelancar kerongkongan." Aku memimpin mereka untuk mencari kantin terdekat.
# # #
Mungkin jika kuabadikan ekspresi G dan X, akan menarik sekali. Melihat cara mereka bereaksi begini membuatku serasa menjadi agen detektif yang berhasil menguak kasus kejahatan terlangka di dunia.
X yang selalu tanpa ekspresi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sedangkan G yang selalu ekspresif, justru sebaliknya. Wajahnya begitu datar dan tak bisa menyembunyikan rasa shock-nya. Aku menyedot pelan minumanku. Agak jahat memang jika aku harus santai akan apa yang terjadi pada mereka setelah mendengar ini.
G tetap tak bereaksi. Dia berpikir dalam. "Seharusnya aku peka padanya." Itu yang terlontar dari Gena setelah beberapa saat. "Seharusnya aku paham terhadap gelagatnya." Dia menatapku. "Jadi itu penyebab mengapa dia kabur saat berpapasan dengan Tristan? Gadis malang." Gena begitu sedih.
Sepertinya Gena memang menganggap Alicia sebagai sahabat yang sangat dia sayangi. Tak butuh waktu lama, tetesan air mata mengalir pelan di pipi Gena. "Tak bisa kubayangkan, betapa sakit perasaannya menyimpan kenangan seperti itu dan juga tidak ada seorang pun sebagai tempat dia berkeluh kesah. Seharusnya aku tak selalu berkisah tentang diriku padanya, melainkan sebaliknya. Dia tak pernah bercerita apapun tentang perasaannya, bahkan kesedihan ditinggal oleh ibunya... Ayahnya yang sibuk..." G tak melanjutkan. Dia terisak. Baru kali ini aku melihat G menangis begitu. Sungguh seperti bukan G yang kukenal.
Aku memandang berkeliling, tak ada pengunjung yang memperhatikan kami. Semua seolah sibuk dengan kesedihan mereka sendiri. Mungkin ini sudah menjadi pemandangan biasa di kantin rumah sakit.
X yang duduk di sebelahnya segera merangkul bahu G, menenangkan. Kami diam lagi untuk waktu yang agak lama.
Aku menghabiskan minumanku. X masih merangkul G yang sudah mulai tenang dan menghapus air matanya perlahan.
Ponselku bergetar, ada pesan masuk. Dari Ivy.
'Apa itu kau yang sedang duduk bersama Alex, Jason? Siapa gadis di samping Alex yang sejak tadi tak berhenti dirangkulnya?'
What?! Aku duduk tegak. G dan X menatap ingin tahu. Aku menoleh kesana-kemari. Benar saja! Kulihat sosok gadis berambut panjang dengan poni rata dan berseragam Mary Bloom high school itu, sedang berdiri dengan jarak tiga meja di samping kami. Dia masih memegang ponsel dan menyipitkan mata.
X dan G menoleh, mengikuti arah pandanganku. Entah bagaimana ekspresi mereka, yang jelas Ivy, X, dan G telah bertemu dan aku terjebak di sini. Seharusnya aku memiliki sihir untuk menghilang.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
ChickLitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...