-Alicia-
Ayah tidak percaya kalau aku baik-baik saja. Dia tetap memaksa akan membawaku ke rumah sakit. Aku tidak bisa menolak, aku tidak bisa merengek, aku tidak bisa meronta. Ada yang berbisik di telinga agar aku menurut saja. 'Pergi ke dokter dengan ayahmu dan yakinlah, sepulang dari rumah sakit, dia tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri lagi'. Aku patuh pada suara itu dan mengantri lagi.
Setelah Dokter Reed memeriksa bahwa aku sudah membaik, dia menyarankan ayah agar membawaku ke bagian spesialis. Kami menurut dan dokter yang menanganiku kali ini memeriksa semua bagian vital tubuhku, mengecek setiap inci organ tubuh, tekanan darah, apakah aku pusing? Gegar otak? Punya luka memar? Luka yang berdarah atau luka lainnya? Sempat juga bagian dalamku diperiksa dan aku menurut saja tanpa melawan. Butuh waktu untuk melihat hasilnya dan aku kembali diarahkan ke spesialis selanjutnya. Lebih tepatnya dokter kejiwaan atau aku menyebutnya psikiater.
Awalnya ayah merasa sangat keberatan dengan surat rujukan dari Dokter Carl, tapi argumen-argumennya menguatkan ayah untuk tetap membawaku. Menunggu dengan ekspresi tegang dan tidak berhenti menatap penuh tanya. Aku bisa mengartikan, 'Kuharap Dokter Carl salah dan kau baik-baik saja', dari pandangan ayah.
Tidak ada yang harus kukatakan karena penjelasan dokter nanti akan membantuku menyampaikan semuanya pada beliau.
Seorang wanita tua keluar dari pintu di depanku. Ada laki-laki muda yang mendampingi. Pasti anaknya. Mereka berjalan melewati kami dan aku mendengar perawat memanggil namaku. Wajah ayah semakin tegang. Dia memutuskan untuk ikut masuk. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi setelah ini.
Ayah tidak banyak bicara. Dokter Foster menanyakan apa keluhanku. Aku menggeleng. Tidak ada keluhan apa-apa, tapi aku yakin dia tahu sesuatu dan mengeluarkan catatan. Ayah menyimak dengan patuh di sebelahku. Aku tidak berani melihat ekspresinya.
Dokter Foster melakukan tugasnya dengan baik. Dia mengajukan banyak pertanyaan yang kujawab sebisaku dan sesuai ingatanku. Semuanya perlahan-lahan membawaku untuk mengingat kejadian enam bulan lalu yang selama ini berusaha aku simpan dan kulupakan. Dokter Foster juga memberi lembaran beberapa pertanyaan untuk aku isi. Sebagian adalah menceritakan kembali bagaimana perasaanku saat ini. Dia juga menyuruhku menggambar. Apa saja yang bisa membuatku lega.
Tak berapa lama, ada perawat lain yang masuk dan memberikan sebuah map pada Dokter Foster saat aku masih menulis di lembaran itu.
"Apa itu hasil dari pemeriksaan sebelumnya, Dok?" Aku mendengar ayah bertanya.
Kulirik Dokter Foster dari ujung mataku. Dia mengangguk dan membuka map, membaca dengan saksama. Lirikanku beralih pada ayah yang begitu cemas. Bahkan wajahnya sangat murung. Suasana kembali hening dan hanya terdengar kertas dibuka beserta goresan penaku.
Aku selesai menulis dan sudah pasrah dengan segala hasil yang akan keluar nantinya. Sebenarnya aku malu sekali diteliti seperti ini, tapi anggap saja para dokter yang memeriksaku sejak tadi adalah para Dewi yang akan memberikanku keajaiban agar ayah lebih sayang padaku.
Tidak butuh waktu lama bagi Dokter Foster untuk mengenali gejala apa yang kuderita selama ini. Dia tidak melakukan kontak langsung lagi dan hanya membaca hasil jawabanku dengan sedikit kernyitan di dahi. Kami, aku dan ayah, masih sabar menunggu. Dokter Foster melepas kacamatanya. Aku bersandar di kursi siap menghadapi yang akan dikatakannya.
Dia menatapku penuh perhatian. "Bagaimana bisa kau tidak langsung memeriksakannya?" Itu yang dia ucapkan.
Aku hanya mengangkat bahu.
"Ayahmu tahu, Dear?"
Aku menggeleng.
Ayah menatap kami bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
Chick-LitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...