CHAPTER 05

28 2 0
                                    

-Alicia-

Aku terdiam ketika mengamati pelosok rumah. Perasaan itu berkecamuk lagi kali ini. Perasaan di mana aku begitu merindukan kehidupanku terdahulu. Kehidupan saat keluargaku masih utuh. Ada sosok ibu yang selalu memeluk ketika aku pulang sekolah. Ada sosok ayah yang tak pernah melupakan kebiasaannya, yaitu mengecup keningku. Atau jika ayah pulang kerja lebih cepat, mereka berdua akan menyambut serta merangkulku ke dalam dekapan hangat yang selalu sukses membuatku tenang dan berani menghadapi kenyataan.

Lalu sekarang? Semua telah sirna. Hanya ada Bibi Roewi yang setia menunggu kedatanganku dengan senyum tulusnya. Aku pun balas tersenyum dan lekas-lekas naik ke kamar. Rumah ini memang belum genap sebulan kami menempatinya, tetapi rasa hampa yang dihadirkan sudah begitu melekat di hatiku. Mungkin karena tak pernah ada kegiatan berarti di tiap sudutnya. Tak ada obrolan serius antara aku dan ayah di ruang mana pun. Tak ada tegur sapa atau sekadar pertanyaan tentang, "Bagaimana kegiatanmu hari ini?". Lebih seringnya ayah datang ketika aku sudah tertidur dan berangkat lagi saat aku keluar kamar untuk sarapan. Tak ada basa-basi. Hanya sepi.

Aku mengembuskan napas panjang. Semua hal yang terjadi belakangan membuatku lelah. Ingin sekali berteriak, menangis, melupakan bahwa aku masih bisa bernapas meski menderita batin seperti ini. Aku pun menutup pintu sesampainya di kamar, meletakkan tasku di meja lalu beralih ke cermin. Melihat sosokku yang muram dengan berat badan menyusut.

Itukah aku? Apa yang aku lakukan di situ? Berdiri diam melihat wajah yang semakin hari semakin memburuk. Jarang ada senyuman, jarang ada ucapan, dan tidak bisa beradaptasi dengan baik. Suatu penurunan tingkah laku yang sangat drastis. Hatiku kembali sesak. Mataku sudah kering jika diperintahkan untuk menangis lagi. Percuma. Dengan tindakan cengeng seperti itu, aku masih di sini, dan terus menjalani hari-hariku yang hampa. Kalau sudah begini, aku ingin sekali bicara dengan ayah.

Aku berbalik dan berjalan menuju tempat tidur. Duduk di sana meraih telepon di meja nakas. Kutekan digit-digit nomor ponselnya. Tersambung. Beberapa detik baru diangkat oleh ayah.

"Halo?" Suaranya terdengar terburu-buru.

Aku tidak langsung menjawab.

"Ada apa Bibi?"

Bibi katanya? Apa karena aku menghubunginya dari rumah, jadi mengira kalau yang menelepon adalah Bibi Roewi? Apa dia lupa kalau ada aku juga yang tinggal di sini?

"Halo? Bibi Roewi? Telepon nanti saja ya, aku masih ada rapat dengan klien." Panggilan dimatikan.

Aku hanya terdiam menatap gagang telepon di tangan. Sesibuk itukah? Aku pun mengembalikan telepon ke meja nakas dan kali ini sengaja menghubungi dengan ponselku sendiri. Siapa tahu jika aku yang menelepon ayah bisa meminta sedikit waktu untuk meninggalkan pertemuan demi mendengar perkataanku.

Segera kucari kontak ayah dan menghubunginya. Beberapa detik nada sambung terdengar lalu ayah menerima teleponku.

"Ada apa?" Suara ayah seperti orang sedang menahan kesal karena pekerjaannya diganggu.

Napasku tercekat. "Ayah, ini aku..."

Sepersekian detik ayah tidak menyahut. "Iya, Ayah tahu kalau ini kau. Ada apa, Alicia? Katakan cepat."

Belum sempat aku menjawab, ayah sudah sibuk berbicara dengan seseorang di sana lalu kembali padaku. "Ayah masih ada rapat dengan klien." Panggilan pun dimatikan.

Aku hanya menatap layar ponsel tak habis pikir. Apa barusan benar-benar ayah? Aku tidak percaya kalau dia bisa bersikap seperti itu padaku.

Sekali lagi aku menghubunginya, tetapi kali ini yang terdengar justru suara operator yang mengatakan kalau nomor ayah sedang tidak aktif. Ayah mematikan ponselnya hanya gara-gara aku menelepon?

TRAVELOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang