Zee : Halaman Terakhir

2.7K 102 3
                                    

Dari mana aku mulai?

Baik. Itu permulaan agak buruk.

Semua kerumitan yang terjadi dalam hidupku saat ini, berawal dari secuil waktu yang diberikan Tuhan kepada kami untuk dipertemukan dan mengenal satu sama lain.

Hebatnya, waktu kubuka halaman-halaman dari buku usang di gudang belakang, sore itu, aku hanya tersenyum masam. Sebab, aku tahu, apa yang aku tuliskan tentang dia, waktu aku jatuh cinta padanya, sekarang hanya jadi omong kosong belaka.

Kami bertemu atas ketidak sengajaan yang bertubi-tubi.

Aku mengenalnya cukup baik.

Menjalani segudang kisah drama pasangan kekasih.

Lalu, menikah.

Aku pikir, menikah menjadi akhir dari semuanya. Aku pikir, itu halaman terakhir dan aku bahagia.

Ternyata, halaman terakhir itulah yang membawaku pada halaman-halaman baru, kisah baru, dan masalah baru sampai aku lelah untuk menjalaninya.

Meski dia bilang, akulah juara di hatinya.

Aku hanya... lelah. Terus-terusan hidup dalam rantainya, bernapas dalam penjara.

Terkurung layaknya burung, murung.

Aku ingin bebas, aku ingin lepas, langgas.

-ASA

...

"Tapi, waktu saya ke Manhattan, dua bulan yang lalu. Sejujurnya saya langsung jatuh cinta banget, pengin gitu tinggal di sana, barang hanya seminggu. Saya senang dengan hiruk pikuk individualisme di sana."

Lalu, mereka tertawa bersama lagi, dengan hangatnya.

Kue basah buatan mama selalu tersaji jika acara begini. Semuanya penuh di meja makan dan meja ruang keluarga.

Orang tua biasanya berkumpul sambil bercengkrama di depan televisi atau di meja makan sambil membicarakan pendidikan dan prestasi anak-anaknya. Anak-anak sibuk bermain air di kolam renang belakang, kedengaran riuh dan mereka tertawa.

Aku ditariknya untuk duduk di sofa. Matanya melotot singkat pada kue basah, menyuruhku tanpa kata untuk mengambilkan putu ayu di sana, itu makanan favoritnya, omong-omong.

Dengan pelan-pelan, kulepaskan tangan kekarnya dari pinggangku. Sedikit aku bergerak, tangannya makin erat.

Mencoba untuk mengikuti alur sandiwara, akhirnya aku menyerah. Dengan manis, kuambilkan Putu Ayu kesayangannya dari piring, lalu kuberikan padanya dengan senyum paling lebar yang kupunya, dia tersenyum juga.

Bibirnya mendekat, wajahku menjauh dengan mata bulat penuh amarah waktu dia mengecup pipiku singkat.

"Terima kasih, sayang--argh." Dia menggeram kecil, menahan rasa sakit waktu aku mencubitnya sekuat tenaga yang kubisa di salah satu bagian lemak perut yang dia punya.

Terhitung semenjak menikah, demi kota Jakarta dan segala isinya, perut kotak-kotak dan rahang tegas yang dia punya hilang entah ke mana, kini bersisa lemak bergelambir di perut dan pipi sedikit lebih bulat yang tersisa.

"Sudah setahun nikah, tapi masih mesra begini, tipsnya gimana sih. Iri aku."

Refleks aku dan dia yang sedang bertatapan penuh amarah, segera menepikan semuanya. Lalu menatap sepupuku, sedetik kemudian, kami tersenyum lebar.

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang