Brielle : Nyasar

354 45 10
                                    

"Kenapa lo ngeliatin gue gitu banget? Jatuh cinta kan lo sama gue?" Aku menatap Zee jijik atas tuduhannya barusan. Lalu wanita itu tertawa setelah membuat lelucon yang tak lucu sama sekali. "Udah biasa, kebanyakan cewek memang suka sama gue, tapi sorry-sorry aja nih, gue straight, punya suami juga."

"Ya... walaupun suami gue bajingan banget." Zee mengerinyitkan dahinya, kemudian kembali meminum fruit punch yang tersedia di atas meja. Dia mulai mengibas-ngibaskan dress biru tua yang ia pakai. Kelihatan kegerahan. Manusia macam apa pula yang memakai dress tapi ditambahkan outer jacket denim untuk menutupi bahunya? Oh tentu saja, hanya Azizi Asadel malam ini.

Hari ini, kami datang berdua ke acara pernikahan teman kami, Olla. Itu karena kekasihku tak mungkin ikut datang karena sedang mengurusi salah satu kasus petinggi negeri akhir-akhir ini, sedangkan suaminya Zee sudah jelas tak ikut karena manusia satu itu memang terlalu anti untuk digandeng Zee pergi ke Undangan Pernikahan.

"Kita kayak pasangan lesbi dari tadi gandengan berdua." Zee kembali tertawa.

"Goblok." Aku hanya menggaruk leher ketika dia mulai melantur tak jelas.

"Brielle!" Aku menoleh pada sumber suara, seorang wanita dengan dress cokelat muda menjadi pengalihanku dari keanehan Zee malam ini. "Apa kabar lo? Kita udah enggak ketemu berapa tahun?"

"Hai, Kak Chika! Puji Tuhan, baik. Lo gimana? Semenjak pindah ke Medan kayaknya gue jarang dengar lo ke Jakarta lagi kecuali sekarang."

"Suami gue pindah kerja lagi ke Jakarta, makanya gue ikut."

"Ah, begitu. Ini anak lo yang pertama? Ih, cantik banget." Aku mengedarkan pandangan pada bocah berusia sekitar dua tahun yang di samping Chika, gadis itu tersenyum lebar ketika kucubit pelan pipi bulatnya.

"Lho, ini yang kedua. Anak gue yang kesatu cowok, Brielle. Udah empat tahunan."

Malu sendiri setelah tahu.

"Oalah... kirain ini yang ke satu. Tapi, emang pada cepet gede banget ya, Kak, enggak kerasa gitu. Dulu masih pada gadis, sekarang udah nikah aja nih kalian."

"Eh, itu Zee ngapain minum fruit punch banyak banget?"

Ah, iya. Zee!

Aku sampai kelupaan dengan wanita satu itu yang sedari tadi berdiri di depan stand fruit punch tanpa bergerak sedikitpun.

Aku menganga melihat dia sudah menandaskan gelas ke limanya.

"Dia kehausan kali."

"Kata suami gue itu ada rum-nya tau."

"Ha? Demi apa lo, kak?" Ku tatap Chika tak percaya.

"Iya, tadi suami gue nanya gitu ke suaminya Olla, katanya memang minuman itu pakai rum gitu, kirain kalian udah tahu."

"Dia enggak pernah minum sebelumnya." Aku mengerinyitkan dahi lagi, pusing dengan kejadian malam ini. "Gue bawa pulang aja kali ya, dari tadi udah ngelantur enggak jelas lagi."

"Bawa aja bawa, apalagi kalau enggak biasa minum, kita juga enggak tahu dia punya alergi atau enggak."



...




"Brielle..."

Traffic light menunjukan lampu berwarna merah, aku memilih menoleh pada Zee yang terduduk lemas di kursi penumpang. Dia membuka matanya, tapi, terlalu lemah atas kesadarannya sendiri.

"Menurut lo apa arti perpisahan?"

"Ah?"

"Menurut lo gimana?"

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang