Nan : Sophrosyne

491 59 28
                                    

Gue lupa bagaimana pertama kalinya bisa suka sama Zizi.

Mungkin waktu dia mengedipkan matanya ketika gue duduk manis di salah satu bangku teater dan dia membawakan lagu Cokelat paling seksi diantara semua lagu bertema cokelat. Mungkin juga waktu dia mengusir kecoa dari punggung gue lalu membuangnya seakan hewan itu hanyalah makhluk tak berdaya di mata Zizi.

Namun, yang jelas, gue makin jatuh cinta kepadanya setelah kami memiliki hubungan dan jangan ditanyakan ketika sudah menikah, rasanya lebih.

Gue kembali tersenyum kecil, sedikit melirik jam di layar ponsel. Baru menunjukan pukul sebelas malam, tapi, Zizinya gue udah terbaring tidur sambil memeluk tubuh ini yang masih tersisa sedikit tenaga dan demam yang meninggi beberapa jam yang lalu.

"Zi..." Sebenarnya enggak tega membangunkan dia, apalagi ketika napasnya yang halus menggelitiki dada gue, dia terlalu pulas malam ini. "Bangun yuk, pipis dulu."

Enggak ada jawaban.

Dia benar-benar sudah tertidur.

Dengan pelan-pelan gue lepaskan pelukan eratnya di perut, menggantikannya dengan guling yang sudah lama enggak dia peluk.

Zi... guling kita ini pasti kangen sama kamu.

Jangankan guling, gue juga kangen berat dipeluk sama Zizi.

Kepala gue jadi ringan setelah melewati malam ini. Gue sebenarnya enggak perlu obat bermacam-macam yang dijual di apotek, gue hanya butuh Zizi dan masalah penyakit paling laris di tubuh gue ini pastinya cepat hilang.

Setelah selesai bersih-bersih, gue langsung mengambilkan pakaian di lemari gue--salah satu kemeja biru muda punya gue yang sering dipakai Zizi, enggak lupa juga air hangat dan handuk kecil.

Dia kembali.

Zizinya gue kembali.

Meskipun begitu, hati gue tetap sakit ketika tahu kalau dia terlalu banyak berubahnya.

Enam bulan kalau dihitung memang seperti begitu lama, di sisi lain terlalu singkat juga untuk berubahnya Zizi.

Kenapa, Zi? Kenapa harus begini? Kamu punya aku. Kamu bisa melampiaskannya ke aku dibanding ke diri kamu sendiri.

Gue menyingkapkan selimut yang menutupi tubuhnya sedari tadi, mengusap tubuhnya dengan air hangat. Sesekali gue lebih memilih untuk memejamkan mata, melihat goresan-goresan luka di sekitaran pundak sampai perutnya.

Kenapa gue enggak sadar dari dulu, waktu dia sudah enggak pernah lagi pakai dress tanpa lengan atau crop top di rumah.

Zizi sayang, aku masih yakin untuk tetap ada di sini sama kamu dibanding pergi dan meninggalkan kamu sendirian. Lagipula, aku enggak pernah sanggup untuk pergi dan berpisah dari kamu.


...




Setiap kali ditanya sama orang lain, kapan sih lo mau berhenti dan mengambil pekerjaan lain.

Gue enggak yakin kapan benar-benar berhenti.

Karena buat gue, nyanyi itu bukan sekadar pekerjaan, itu hidup gue, dunia gue, gaya gue. Setiap proses yang gue jalani, dari dulu sempat mengamen dari kafe ke-kafe, sampai ngamennya udah rada elit dari panggung ke panggung dan jadi bintang kayak sekarang, gue senang dengan semua proses itu.

Gue juga senang dengan bagaimana gue membuat lirik, rekaman seharian suntuk sampai serak, shooting music video sampai peluncuran single dan album dan kembali di undang di TV Show meskipun dengan pertanyaan basa-basi yang enggak pernah berubah dari dulu.

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang