Nan : Sepakat

407 53 7
                                    

"Sudah lama sejak abang ditinggal Mbak Nat, kayaknya senyumnya balik lagi."

Gue masih sibuk menatap sekotak nasi berbentuk bekal di depan dan enggak bosan-bosannya untuk terus tersenyum. Hei, bagaimana mungkin gue tahan untuk enggak tersenyum, sementara kupu-kupu sedari tadi terbang di perut merasakan perhatian-perhatian kecil Zizi yang buat gue sangat bahagia

Lihat, dia membentuk nasi putih dengan lucunya. Belum beef teriyaki yang sempat gue ceritakan, betapa cintanya gue sama makanan itu, dan enggak lupa buah-buahan segar.

"Berlebihan lo."

Gue ingat, beberapa saat lalu Jo membahas Nat, bikin gue melempar bocah itu dengan topi yang sedari tadi ada tergeletak di meja.

"Lo berlebihan cinta sama Azizi." Jo tertawa kecil.

"Dia juga cinta sama gue. Adil untuk kami."

Rasanya gue enggak rela untuk menghancurkan nasi dengan bentuk nori-nori menggemaskan ini apalagi memakannya.

"Waktu gue tidur, Zizi bilang apa?"

"Buat Mas Nan ya, Kak Jo. Aku juga bikin buat Kak Jo." Jo menirukan suara Zizi. "Tebak, gue dapat apa?"

"Mie Goreng." Jo menunjukkan makanannya. "Mie Goreng yang ngingetin gue sama bekal kalau mau renang waktu SD."

"Seenggaknya dia ingat sama lo."

"Tapi, serius deh, bang. Seneng banget gue bisa lihat lo senyum seikhlas itu setelah ratusan malam masang senyum palsu."

"Gue sama Zizi udah empat tahun, jangan ingat-ingatin sama Nat dong. Udah enggak bisa digali lagi, Nat udah kekubur."

"Bisa gitu, ya." Jo tertawa-tawa sebelum kembali meminum piccolo-nya pelan-pelan. "Cinta berjalan bisa seaneh itu. Padahal semua orang tahu, dulunya seberapa besar perjuangan lo buat Mbak Nat, bang."

"Inget-inget juga, seberapa besar dia nyakitin gue." Akhirnya onigiri yang sedari tadi gue tatap itu berhasil masuk ke mulut gue. "Percaya atau enggak, setelah gue kenal Zizi, bahkan Nat udah enggak pernah lagi mampir di pikiran gue, secuilpun."

"Lo beneran jatuh hati kayaknya sama dia."

"Mmm... Gue jadi ingat sesuatu."

Tadi pagi, gue bangun pagi-pagi hanya untuk menepati janji dengan salah satu adik Zizi untuk mengantarnya sekolah. Kebetulan memang hari ini, gue agak longgar, jadi enggak ada salahnya gue untuk memberikan waktu luang pada salah satu anggota keluarga dia.

Entah kesambar atau dapat wahyu di kota mana, kaki gue tertarik untuk melangkahkan kaki ke salah satu pusat perbelanjaan dan tujuan gue waktu itu hanya satu, mencari toko perhiasan.

Beberapa orang bertanya, apa sih yang membuat gue tiba-tiba berpikir untuk mengajaknya melangkah lebih serius dengan Zizi.

Enggak ada.

Enggak ada sesuatu yang tiba-tiba.

Gue memikirkan itu dengan matang-matang.

Setelah gue kenal dengan Zizi dan lebih dekat dengan gadis itu. Pikiran soal menikahinya sudah enggak buram lagi, hanya gue tahu diri, memberikan jarak untuk kami mengenal satu sama lain akan lebih baik, dibanding buru-buru mengambil dia dari papanya.

"Lo... mau melamar dia, bang?" Jo tersentak agak kaget waktu gue memperlihatkan sebuah cincin dari kotak lebih besar berwarna merah muda dengan logo sebuah toko perhiasan cukup terkenal.

"Ya."

...



Kami menikah setelah satu tahun gue melamarnya.

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang