Nan : Heaven

495 54 14
                                    

Dia nangis.

Ini kedua kalinya gue menyaksikan dia menangis.

Pertama, waktu siang bolong di sebuah mall, ditinggalkan teman-temannya dan dia menangis.

Kedua, malam ini. Di ruang tengah dengan lembaran makalah PKM, buku, dan kertas-kertas lainnya yang bisa gue tebak kalau itu adalah kertas gagal dari pembuatan nametag yang sedang ia kerjakan, namun, terhenti karena menangis.

"Aku tuh capek banget hari ini..." Tangisnya mengeras, sesenggukkan sambil sesekali mengusap matanya kasar ketika air mata berukuran besar-besar berjatuhan.

Dia menggemaskan, lagi dan lagi. Hidungnya merah, matanya sembab dan sebab alasan dia menangis sudah pasti dan enggak lain karena semua yang dikerjakannya di atas meja.

"Kamu jadi beli cireng yang di perempatan itu?" Gue basa-basi, duduk di sampingnya.

"Jad-jadi." Jawabnya, terbata-bata.

"Enak?"

"Be-belum dimakan." Ah, jatuhnya jadi enggak tega begini kalau dia terus-terusan menangis.

"Capek kenapa? Sini, cerita sama mas."

Gue menepuk bahu sebelah kiri lalu tanpa basa-basi Zizi membenamkan wajahnya, kepalanya bergetar di sana.

Gue suka rambutnya. Selalu halus. Zizi juga bukan tipe perempuan yang senang mengganti gaya rambut terlalu sering dan ekstrim, konon katanya, dia memang dilarang papanya untuk memotong rambut sampai pendek.

Ya, gue setuju sama papa. Dia memang cocok dengan rambut panjang.

"Tadi waktu beli cireng, aku diserobot ibu-ibu." Satu tangannya mencengkram kaos yang gue pakai erat-erat. "Abang yang jualannya juga cuek banget malah ngeduluin ibu-ibunya, aku ngantri lama banget."

"Tapi, tetep dapet kan cirengnya?"

"Tapi, aku sakit hati, mas. Harusnya aku duluan, malah diserobot ibu-ibu." Sudah, rasanya gue enggak bisa untuk enggak tersenyum dengar cerita dia melawan ibu-ibu hari ini.

"Ya namanya juga ibu-ibu—"

"Enggak bisa gitu. Kita enggak boleh terus-terusan ngalah apalagi memaklumi. Gimana Indonesia mau maju, budaya ngantri aja enggak bisa diterapkan." Dia menjauhkan kepalanya dari bahu gue, mengambil tissue dan mengeluarkan cairan di hidungnya.

"Kamu ingetin ibu-ibunya dong..."

"Ibu-ibunya keliatan galak banget, aku takut dibentak balik."

"Ini udah beres nametag-nya?"

"Be-belum." Tangisnya sudah berhenti, tapi, Zizi nampaknya memang masih ada dendam kesumat sama ibu-ibu yang menyerobot antrian.

"Sini, mas bantu ya. Kamu beresin PKM-nya. Lagian, ini udah malam, kamu harus banget bangun subuh-subuh, kalau enggak mau telat Ospek."

Kami berbagi tugas, gue menekuni pembuatan nametag dan Zizi sibuk menyusun kertas-kertas yang sempat berceceran masih sesekali sesenggukan.

Sebenarnya, hari itu, gue enggak berniat sedikitpun untuk datang ke rumahnya. Cuma, gue ingat, paginya Zizi punya kegiatan pertama kali di kampus dan untuk waktu cukup lama gue enggak akan mengunjungi dia karena bulan ini jadwal gue lebih sering off-air ke luar kota.

"Lapar enggak, mas?"

Pipi gue kayaknya merah waktu tertangkap basah kalau perut beberapa kali bunyi, lalu mengangguk.

"Mau nasi goreng?"

"Ada yang enak?"

"Langgananku enak banget."

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang