Waktu pertama kali Jo kerja bareng sama gue, dia pernah duduk dipojokan kantor manajemen kami, mirip-mirip kayak guci orang kaya, bedanya cowok itu lagi nangis. Pertama kali gue ketemu sama Jo, cowok itu masih remaja kinyis-kinyis lulusan SMA yang mengadu nasib ke Jakarta. Sendirian dan mengaku belum punya tempat tinggal.
Dia bilang, kerjaan apapun bakal dilakukan, yang penting dapat makan dan uang buat kiriman orang tuanya ke kampung.
Menurut gue dia luar biasa.
"Maaf banget, bang. Gue enggak betah." Gue dengar dia ngomong sama manajer gue begitu. Sedang gue lagi rebahan di sofa sambil menyumpal dua telinga pakai earphone, walaupun musiknya enggak gue hidupin sama sekali.
Alias, gue nguping.
"Kenapa?" Manajer gue yang lagj sibuk-sibuknya nyempetin buat nyamperin Jo.
"Bang Nan jutek parah, gue dipelototin mulu. Enggak enak hati bang gue kerja sama orang kayak gitu."
Sudah gue bilang dari awal, gue itu bukan orang yang menyenangkan-menyenangkan banget.
"Bayaran emang gede, tapi, kalau harus makan ati terus, gue kayaknya enggak bisa, Bang Lee."
"Jojo, dengerin gue." Bang Lee ikut duduk di tembok, membenarkan kacamatanya. "Si Nanta emang kayak gitu komuknya. Dibilang, dia itu baru bisa belajar ekspresi pas udah jadi artis, lo enggak percayaan banget. Muka dia emang enggak bergairah sama sekali, apalagi kalau udah badmood duh, udah senggol bacok bener deh. Serius."
"Kok ada ya orang kayak dia."
Gue mendengus menahan tawa.
"Makanya, biasain deh. Nan pernah ngomong ke gue, katanya cuma lo yang rada mending dibanding yang lain. Ngerti kan maksud gue? Lo itu kerjanya udah bagus banget, dia suka cara kerja lo."
Sejak saat itu, salah satu orang yang bisa mengerti hidup gue adalah Jo.
Sayang, gue pikir setelah gue mengenal Zizi, dia bakal ngerti juga punya suami yang terkadang malas berekspresi untuk membalas cerita atau berita yang dia sampaikan.
Pertama, sekali lagi, gue tegaskan. Kalau gue cinta sama Zizi, enggak ada perempuan lain lagi yang bakal gue lirik setelah gue kenal Zizi.
Gilak, Nanta sebucin itu, ya.
Lo semua enggak akan tahu, gue pernah buat kaos pakai sablon foto dia--meskipun setelahnya gue dipukul gara-gara pakai kaos begitu dan dikatain alay sama saudara kembarnya. Itu kejadiannya di Bali, waktu gue mau lamar dia, sudah tentu semua keluarga dia tahu kecuali Zizi sendiri.
Foto dia selalu nyempil di dompet gue, sehingga waktu gue mau ambil sesuatu dari sana, selalu ingat dia dulu.
"Ini maksudnya, kalau lo mau nyewa ani-ani lo bakal tobat seketika ya, bang, karena ada foto pacar di sini?" Sialan, pertanyaan Jo bikin gue ketawa tapi marah bersamaan.
Gue punya dua akun anon, satu di instagram, satu lagi di twitter. Dua-duanya gue pasang foto Zizi yang gue ambil sendiri enggak sengaja, sampai pernah ditanya sama salah satu fans-nya, dapat dari mana foto rare kayak begitu atau ada juga beberapa fans-nya yang ngingetin gue untuk stop pakai foto Zizi soalnya Zizi udah berhenti.
Hah, mereka enggak tahu aja, gue ini fans fanatik Zizi sampai ke tulang-tulangnya.
Dia itu sangat berharga buat gue. Semua yang gue lakukan ini, untuk Zizi.
Setelah menikah, hubungan kami makin menyenangkan.
Dari yang tidur sendiri sambil berkhayal menikahi gadis impian gue, sampai akhirnya benar-benar bisa tidur sama orang yang gue impikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeja Kebebasan
FanfictionAzizi Shafaa Asadel kala itu berusia 19 tahun dan memutuskan menyudahi karirnya di bawah naungan idol group, JKT48. Kemudian ia bertemu dengan seorang pria yang konon lima tahun kemudian menggenggam jemarinya yang dihias cincin manis sekian karat, m...