Zee : Pudar

412 46 17
                                    

Ucapanku malam itu kepada Nan kupikir akan jadi omong kosong saja, mengingat bagaimana sibuknya Aldo akhir-akhir ini dengan pekerjaannya. Toh, aku yakin, aku bisa kok pergi sendirian tanpa siapapun. Lagipula, aku sudah terbiasa pergi menjajaki tempat baru tanpa didampingi orang lain.

Namun, keseriusan Aldo bukan hanya isapan jempol semata.

Kami jadi pergi ke Makassar setelah aku mengajukan cuti dua hari kepada atasan.

Amazing.

Selain dengan keluargaku dan Nan, nampaknya ini pertama kalinya aku pergi melanglang buana bersama orang lain yang tak terlalu dekat denganku. Yeah, bersama Aldo tentu saja.

"Itu kamar kamu." Aldo menunjuk salah satu pintu berwarna cokelat tua di depan kami. "Ini kamar aku."

Aku mengangguk kecil.

"Pelayanan kamarnya 24 jam, ada kolam renang indoor, tempat gym, spa, dan... coba deh nanti kalau udah masuk terus buka jendela, aku sangsi kalau kamu enggak menjerit sama sekali pas lihat pemandangan ke luar, pemandangannya langsung pantai. Pantai Losari jaraknya paling juga cuma 10 menitan dari sini. Nanti kita mulai ritual dengan jalan-jalan di pantai oke? Rasa-rasanya ke Makassar belum lengkap kalau enggak ke Pantai Losarinya."

"Kamu kedengaran kayak sales tahu enggak, Do." Aku cekikikan kecil mendapat penjelasan dari Aldo yang masih berdiri tegap di depanku.

Dia menggaruk kepalanya setelah meringis kecil.

Kemudian kami berpisah di bibir pintu dan masuk ke kamar masing-masing.





...







Sorenya, Aldo menepati janjinya untuk mengajakku ke Pantai Losari berdua.

Dia datang mengetuk pintu kamarku dengan pakaian begitu necis dengannya. Rambut agak panjangnya dikuncir sedemikian rupa, dia memakai boardshort dan kemeja putih dengan dua kancing paling atas terbuka, menampilkan bulu-bulu halus yang menempel di dadanya.

"Kamu cantik banget sore ini."

Itu pujiannya yang ke sekian, ketika kami sampai di pantai. Gaun berwarna putihku terbang seiring angin yang berhasil menampar-nampar wajahku.

"Makasih yang lebih cantik."

"Tengil banget." Dia tertawa-tawa mendengarnya.

"Kamu enggak boleh pulang ke Jakarta dulu sebelum jadi gendut. Kulineran di Makassar itu ya, Zee! Aduh, salah satu hal wajib yang enggak boleh terlewatkan."

"Aku enggak mau gendut." Aku merengut kecil.

"Kamu gendut aja pasti bakalan cantik."

"Tapi, aku enggak mau gendut."

"Yeah." Dia mengalah. "The best way to enjoy makan pisang epe itu pas sunset di Pantai ini tau. Tekstur pisang raja yang enggak lembek disatu padukan sama lelehan gula tuh aduh, salah satu surga dunia banget sih, Zee."

Kami duduk di sebuah kursi plastik dengan hidangan dua porsi pisang dan dua gelas teh sambil menikmati senja yang sebentar lagi diculik malam.

"Tadi jadi sales hotel, sekarang jadi sales pisang. Enggak heran kalau kamu punya jabatan komisaris tapi nyambi punya wirausaha yang kelihatannya bukan iseng-iseng semata. What a perfect."

"Belum bisa disebut sempurna sih." Dia membuka kacamata hitamnya, menatapku sambil tersenyum. Senyumnya tipis tapi tersirat sejuta arti. Keningnya berkerut menatap matahari tenggelam.

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang