Ini semua tak akan berjalan sulit jika aku bisa seperti Nanta Ninggar yang tidak terlalu membawa hati dalam hubungan yang kami jalin hampir lima tahun lamanya.
Empat tahun sebagai pasangan kekasih, tepat satu tahun sebagai pasangan suami istri.
Tumbuh dalam keluarga yang selalu saling menghargai dan mengapresiasi, bertemu dengan sosok lelaki yang tak jauh berbeda dengan kebanyakan anggota keluargaku, membuatku begitu nyaman bisa jadi bagian dalam hidup Nanta.
Dia selalu melakukannya.
Waktu pertama kali kucoba memasak beef teriyaki dan dia mencicipinya, dia bilang masakanku begitu enak dan dia makan begitu lahap, walau diakhir cerita, Athir lebih bisa jujur dan saudaraku itu mengatakan jika makananku terlalu banyak garam.
Itu apresiasi dia yang paling sederhana. Meskipun aku keberatan.
"Mas jangan gitu..." Aku ingat sampai merajuk pada Nan agar tidak lagi mengulang untuk memakan masakanku jika memang ada sesuatu yang kurang di dalam makanan yang kusajikan.
"Lho, kenapa? Masakan kamu enak kok, makanya aku makan sampe habis. Kalau enggak enak, enggak akan aku makan, Zizi..." Dia tersenyum-senyum sambil mengotak-atik lego yang masih berceceran dari satu jam yang lalu. "Cuma, emang... agak kurang gitu lho. Tapi, enggak masalah. Aku tetep suka."
Aku mendengus kesal.
"Aku mau nilai masakan kamu, cuma kamu bilang tadi lagi period. Takut salah ngomong." Dia tertawa-tawa kecil. "Tapi, overall enak kok, beneran. Cuma agak keasinan aja, dikit."
Dia selalu berhasil membuatku tersenyum, memantik semangat dan tak mudah menyerah. Perhatian dan perlakuannya kepadaku, bak seorang Raja kepada Ratunya.
Dulu.
Sampai, enam bulan yang lalu. Tepat enam bulan kami menikah, sesuatu yang berbeda terjadi begitu saja.
Mempunyai anak bukanlah tujuan utama yang akan kami capai di tahun pertama pernikahan.
Aku tak siap, dia juga.
Kami punya rencana abu-abu untuk merencanakan buah hati di tahun ke empat atau kelima pernikahan.
Alasannya, demi pekerjaan kami masing-masing.
"Mas, kalau kelepasan gimana?" Aku baru saja meletakkan stilleto di atas rak di ruang depan, lalu duduk di sebelahnya yang sedang sibuk memainkan ponsel. Entah serius atau tidak, tapi, waktu dia menatapku. Nanta menyipitkan matanya, keningnya berkerut, meminta penjelasan.
"Ini ngelanjutin omongan kita malam tadi?"
"Iya."
"Aku lupa, kita ngobrol sampai mana sih, kemarin?"
"Sampai nunda anak, sama kayak rencana awal kita nikah, waktu itu."
"Oh itu." Nan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, kalau bisa sih... jangan."
"Beneran enggak mau punya anak sekarang banget, nih?"
"Bukan gitu. Aku mau." Dia membenarkan cara duduknya. "Ya siapa sih yang enggak mau punya anak setelah nikah, kecuali yang menganut childfree mungkin? Cuma, gini lho--"
"Aku hamil."
"Zizi..."
Harusnya aku sadar dari dulu, bahwa Natalia benar soal aku hanya dijadikan sebuah pajangan, tempat mencari kesenangan singkat, dan tentu saja... Nanta terlalu malu untuk menunjukan istrinya sendiri ke dunianya. Bahkan, untuk sekadar merasakan sebuah rumah tangga yang normal dan utuh saja, itu hanya jadi sebuah angan-angan yang tak pernah bisa kucapai, sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeja Kebebasan
FanficAzizi Shafaa Asadel kala itu berusia 19 tahun dan memutuskan menyudahi karirnya di bawah naungan idol group, JKT48. Kemudian ia bertemu dengan seorang pria yang konon lima tahun kemudian menggenggam jemarinya yang dihias cincin manis sekian karat, m...