Nan : Azizi Asadel

668 49 14
                                    

Banyak hal yang gue lalui bersama Zizi.

Lima tahun lebih. Lo bisa membayangkannya kan?

Kami mengenal lima tahun lamanya. Empat tahun sebagai pasangan kekasih dan satu tahun sebagai pasangan suami istri. Empat kali kami merayakan tahun baru, ulang tahunnya dan ulang tahun gue. Empat kali gue berkunjung ke rumah dia di hari raya, empat kali juga dia berkunjung ke rumah gue di hari raya. Satu kali kami merayakan hari raya bersama.

Empat kali kami merayakan hari jadi.

Satu kali dan pertama kalinya kami melewatkan hari jadi pernikahan. Satu kali, gue melewatkan ulang tahunnya dan satu kali juga dia melewatkan ulang tahun gue.

Ya, seenggaknya, kami punya lima tahun lebih bersama-sama.

Gue pernah satu kali menangis bersama Zizi karena enggak kuat melihat dia terus menangis setiap hari. Tapi, setelah itu gue menyesal dan enggak akan lagi menangis di depan dia. Maka dari itu, ketika gue mau dan enggak kuat pengin nangis, gue selalu pergi dari rumah, kemanapun, yang pasti jangan sampai Zizi tahu.

Kalau Zizi pernah bilang ke gue dia bergantung sama gue, maka gue harus lebih menguatkan tangan gue, badan gue, hidup gue agar enggak bergantung ke siapapun. Mau bergantung sama Zizi? Jangan gila, kami bisa jatuh bareng-bareng kalau gitu.

Maaf, gue juga manusia, enggak sekuat itu untuk terus digantungi, maka dari itu, untuk sesekali gue ingin menghela napas untuk menambah daya gue agar dia tetap punya sandaran di rumah.

Ayo lah... bukan cuma Zizi yang sakit di sini, gue juga.




...





"Jangan kasih tau istrimu ya, kalau papa sakit." Papa tersenyum teduh dan lemah. Gue membalas senyumnya, lalu mengangguk. Dibanding duduk di sampingnya, gue lebih memilih berdiri di pojok ruangan sambil menatapnya dari kejauhan. Enggak tahu, rasanya sakit aja kalau dekat sama beliau akhir-akhir ini.

"Iya, pa."

"Apalagi dia sibuk kan di Makassar?"

"Iya."

"Papa enggak mau dia kepikiran."

"Papa juga harus sembuh, biar waktu dia pulang, papa udah sehat lagi."

Papa hanya tersenyum. Kerutan di sudut matanya menandakan kalau dia mulai kelihatan menua di usia senjanya.

"Semua anak papa itu terbaik, Nan." Gue langsung berjalan agak cepat untuk membantunya duduk, mungkin dia terlalu bosan untuk berbaring atau apapun itu. "Terima kasih."

Gue mengangguk kecil.

"Saya tahu betul soal itu, Pa. Semua anak Papa terbaik."

Dia hendak mengambil air minum, cuma gue lebih sigap membawanya.

"Papa kelihatan serius banget ya, sampai ngusir anak-anak papa cuma mau berdua aja di ruangan ini sama kamu? Kenapa, Nan? Kamu kelihatan gugup gitu?"

Bagaimanapun kondisi dan situasinya, gue enggak pernah enggak merasa gugup menghadap langsung sama papa. Waktu gue meminta izin mengajak Zizi kencan untuk yang pertama, waktu gue meminta izin untuk mengajak Zizi liburan berdua, waktu gue meminta izin membawa Zizi melangkah lebih jauh dari hubungan pacaran, waktu gue meminta izin membawa Zizi ke rumah kami yang baru setelah menikah. Semuanya dilewati dengan rasa gugup yang begitu besar.

Lalu, dalam kondisi biduk rumah tangga gue yang lagi huru hara begini, enggak mungkin gue enggak gugup, bukan?

"Kamu juga anak papa, Nanta."

Mengeja KebebasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang