Nan
"Berapa lirik yang gue lupain tadi di atas panggung?"
"Setengah dari masing-masing lagu, bang."
Jo yang baru masuk ke dalam mobil setelah membeli kopi agak kaget ketika gue tanya begitu. Sedang gue mendengarnya cukup malu karena bisa-bisanya konsentrasi gue benar-benar hilang begitu saja.
"Ini beneran lo mau minum Americano? Lo enggak terlalu cocok minum kopi lho bang, apalagi yang strong begini."
Gue hanya mengangguk.
Kalau enggak bertemu orangnya, barangkali bertingkah seperti orangnya mungkin bisa mengobati rasa rindu gue. Dia suka minum Americano juga, enggak sering tapi cukup sampai bikin gue hafal kesukaannya apa tiap kali mampir ke kedai kopi.
"Pak Nanta, beneran saya dibolehin?"
"Boleh, pak. Enggak apa-apa, nanti diganti sama Jo tuh, dia udah jago kok sekarang kalau nyetir."
Pak Samsu mengangguk. Anaknya sakit kemarin dan masih di Rumah Sakit sampai sekarang, gue belum bisa menjenguk, tapi mungkin dengan cara membebas tugaskan sementara dulu beliau dua hari ke depan itu bisa meringankan sedikit tugas Pak Samsu. Bagaimanapun, buat gue juga, keluarga itu tetap nomor satu.
"Saya turun di sini deh, pak. Kebetulan masuk Rumah Sakitnya tinggal ke gang itu aja."
"Oh, gitu. Boleh pak."
"Makasih ya, Pak Nanta."
"Saya juga makasih, Pak Samsu. Cepet sembuh ya buat si kakak." Gue melambaikan tangan pada beliau, sebelum beranjak dan pindah ke kursi depan sedangkan Jo yang mengemudi.
Tinggalah gue berdua dengan Jo dalam mobil. Dia sedari tadi hanya diam sambil mengemudi, sedangkan gue tahu kalau gue enggak mengajak dia bicara, Jo enggak akan memulai semuanya. Mungkin dia juga tahu kalau gue sekarang lelah.
Di depan sana, tepat di kanan ada sebuah rumah sakit. Itu Rumah Sakit waktu Zizi di operasi 7 bulan yang lalu. Time flies so fast, terlalu cepat sampai enggak menyangka kalau keluarnya dia dari Rumah Sakit itu menjadi titik awal kehancuran yang harus gue dapatkan.
Tiga hari lalu, gue sudah angkat kaki lebih dulu dari rumah itu. Namun, sepertinya Zizi belum atau sudah, dia enggak mengabari gue sedikitpun. Mungkin juga nomor gue masuk daftar blokirannya sekarang atau dihapus langsung waktu di Makassar. Atau apapun itu, yang jelas wallpaper hape gue sampai detik ini masih foto dia, bikin beberapa kali gue menghela napas waktu membuka benda itu.
"Bang, enggak mau diselamatkan gitu?"
Jo masih sama, enggak menatap gue. Bahkan dia lebih tenang dan dingin dibanding Jo biasanya. Enggak, dia memang perlahan-lahan lebih dewasa dibanding awal pertama gue mengenal dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeja Kebebasan
FanfictionAzizi Shafaa Asadel kala itu berusia 19 tahun dan memutuskan menyudahi karirnya di bawah naungan idol group, JKT48. Kemudian ia bertemu dengan seorang pria yang konon lima tahun kemudian menggenggam jemarinya yang dihias cincin manis sekian karat, m...