Aku terdiam sebentar sebelum melangkah pasti masuk ke sebuah tempat yang sudah tak lagi menjadi rumah keduaku. Beberapa tahun yang lalu, tempat ini seperti jadi saksi bagaimana diriku berkembang dengan proses yang cadas dan berliku. Jatuh, bangun, jatuh lagi, lalu bangun lagi.
Mataku sempat menjadi saksi datang dan perginya gadis-gadis pengejar mimpi. Datang untuk mimpinya, pergi juga untuk mimpi yang lain. Entah mengejar cita-cita, cerita cinta atau bahkan kemajuan diri.
Sampai satu titik, aku juga melakukannya. Aku berdiri di panggung teater, menundukan kepala dengan gaun putih yang menawan, menenteng bunga dan kemudian berjalan keluar untuk mencopot sebingkai foto sambil tersenyum sopan. Langkahku kemudian menghilang dan segelintir orang memilih bertahan, meski tak sedikit yang memutuskan untuk berhenti untuk macam-macam alasan.
Aku mengerti. Selain kami, mereka juga datang dan pergi, silih berganti.
Ini Azizi Asadel lagi. Tidak di umur remajanya, tidak juga di masa emasnya. Ini hanya Azizi Asadel, yang sempat terjebak dalam nostalgia. Ini hanya Azizi Asadel yang pernah menyesal karena secepat kilat pergi dengan alasan yang tak pasti. Tapi, sekali lagi, jika takdirku tak begitu, aku juga tak akan mengecap kisah yang lain.
Kageana dikumandangkan, suaranya tak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Hanya, aku tahu dia lebih terlihat dewasa dari tahun-tahun sebelumnya. Ke mana poninya? Sudah hilang entah dari kapan. Jika aku goda gadis itu, dia akan menatapku datar sambil mengatakan jika ia sudah tak pantas. Aku tertawa.
Ku lirik sebentar ke arah Ci Gracia dan Ci Shani, mereka tak kalah antusiasnya dengan diriku.
"Resmi ya?"
"Resmi apa, Ci?"
"Resmi punah generasimu."
Aku tertawa lebar. Benar-benar Ci Gracia ini, tak pernah berubah dari dahulu kala.
"Zi."
"Kenapa, Christ?"
"Gue enggak apa-apa enggak dapet grad concert."
"Lho? Kok gitu?"
"Ya, beneran enggak apa-apa. Cuma, gue beneran bakal maksa sih, kalau Last Show nanti, gue harus bawa beberapa US yang berkesan selama gue di jeketi, kalau bisa, sama member yang dulu bawain bareng gue."
"Bawain wimbledon bareng gue sama Jessi mau gak?"
"Tsundere juga ayo." Tantang Christy.
"Kasihan, anak gue mabok dalem perut nanti."
"Oh iya..."
"Gue pengen bawain Manazashi Sayonara, bareng Ci Shani. Itu salah satu Unit Song paling berkesan banget."
"Setlist mana itu?"
"Ramune, anjir, pikunan banget."
"Dih, ngegas. Gue kan bukan K3, wajar dong gue lupa bahkan enggak tahu."
Malam itu, di malam yang sama setelah ia mengumumkan kelulusannya. Kami berbincang sapa. Aku juga datang ke teater diundangnya. Malam itu, mataku tak melihat sedikitpun raut kecewa dari penonton, malam itu yang ku dengar adalah tepukan tangan dan teriakan bangga kepada Christy, sahabatku.
Malam ini juga sama. Riuh penonton, ratusan lightstick menyala berupa-rupa warna, kursi penonton penuh, belum lagi di luar sana beberapa poster, ucapan selamat dan puluhan penggemar menanti, beberapa kamera menyala.
Dan yang selanjutnya terjadi aku menghapus air mata haru dibuatnya. Malam ini selesai dengan hingar bingar penuh rasa.
Angelina Christy, sahabatku, berhasil melangkah lebih jauh lagi. Semoga dia lebih bersinar di jalan lain yang akan ia tempuh nantinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengeja Kebebasan
FanfictionAzizi Shafaa Asadel kala itu berusia 19 tahun dan memutuskan menyudahi karirnya di bawah naungan idol group, JKT48. Kemudian ia bertemu dengan seorang pria yang konon lima tahun kemudian menggenggam jemarinya yang dihias cincin manis sekian karat, m...