Part 3 Kayu Hitam

32.3K 4K 212
                                    

Wanita berkacamata dan bertubuh tinggi besar terlihat samar sedang mencoba meraih sesuatu di rak teratas. Okan terlihat takut, ia gemetar, tapi pemukul bisbol di tangannya memaksa untuk memastikan siapa wanita itu. Maka ia memukulkan tongkat itu ke punggung si penyusup. Wanita itu berusaha melindungi diri dari serangan berikutnya. Namun, pemukul keras itu telah mendarat di kepalanya.

Wanita tinggi besar itu tersungkur di lantai, dan mengerang kesakitan. Okan sedikit mundur dan mencoba menjangkau tali saklar lampu di atas kepalanya. Saat lampu berhasil menyala, Okan terkejut dengan apa yang kini dilihatnya. Wajah yang sangat ia kenal.

"Ya Tuhan! Tante Kirei? Apa maksud Tante masuk rumah tanpa ijin?" Okan mengangkat kacamata yang terjatuh di lantai. Pandangan penuh tanya beradu di antara mereka.

"Anu eh, Tante mau cari hiasan kayu hitam milik Ayahmu. Itu Tante yang kasih. Aduh, kepala Tante sakit sekali!"

"Maafkan saya, Tante. Tadi kukira pencuri. Lain kali, telepon dulu jika ingin masuk. Mari kita obati dulu kepala Tante."

Okan mengompres kepala Tante Kirei dengan sekantung es. Ini situasi yang tidak diharapkannya. Memukul salah satu keluarga bukanlah hal yang ingin dilakukannya.

"Tante yang minta maaf. Masuk tanpa ijin. Tante pakai kunci rumah duplikat dari ibumu. Oh iya, boleh tahu di mana hiasan kayu hitam itu?"

"Entahlah, barang-barang Ayah kupindahkan seluruhnya ke lemari kayu jati di kamarku. Aku tidak ingin menaruhnya di ruang bawah tanah. Tante sendiri tahu kan aku benci berlama-lama di bawah sana."

"Kamu masih alergi debu?"

"Masih, tapi sepertinya sudah berkurang, Tante. Oh iya, hiasan kayu hitamnya. Tunggu sebentar, Tante. Aku segera kembali."

Dalam benaknya Okan mempertanyakan perkataan tantenya mengenai kunci duplikat. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh. Okan mengeluarkan dus besar dari dalam lemari dan dengan susah payah mengangkat dan menggesernya di lantai. Ia mulai membuka dus besar itu dan melihat beberapa buku tebal, agenda, dan beberapa keping DVD.

"Hanya ini barang ayahmu?"

"Iya, Tante. Ini yang tersisa. Sebaiknya Tante berbaring saja dulu. Toh itu hanya hiasan kayu hitam biasa kan? Nanti aku yang cari."

Okan mulai bersin akibat debu-debu yang beterbangan. Masker yang dipakainya tidak terlalu menolong. Perlahan Tantenya mulai menegakkan diri dan duduk di kursi. Masih memegangi kepalanya sendiri.

"Aku tak dapat menemukannya, Tante. Mungkin ayahku menaruhnya di tempat lain, atau memberikannya ke orang lain."

Tante Kirei memandang sekeliling ruang itu, tanpa menghiraukan Okan yang sedang berbicara. Ia menebak-nebak letak benda yang dicarinya. Sudah belasan tahun Ia keluar masuk rumah yang sama tanpa membawa hasil. Ia begitu terobsesi dengan patung burung dari kayu hitam yang sebenarnya milik Ayah Okan, adik kandungnya sendiri. Patung itu bukan pemberiannya dan dus itu hanya berisi barang-barang tidak berharga. Ia tahu itu. Hiasan kayu hitam yang dia maksud memiliki bagian tersembunyi di dalamnya. Dan ia begitu penasaran, mengingat Ayah Okan pernah mengatakan bahwa patung itu adalah benda paling berharga di rumahnya. Kali ini ia mengalami kesialan, Okan akhirnya memergokinya setelah berkali-kali tanpa diketahui berhasil masuk rumah yang sama mencari benda yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu.

Tak lama berselang, Okan sudah mengeluarkan semua benda dari dalam dus. Nihil.

"Rumah ini begitu bagus. Sayangnya kamu tinggal sendiri di sini. Sudahlah, Okan, Tante rasa hiasan itu tidak ada di rumah ini."

Yang tak diketahui Okan, ada persekongkolan besar untuk mendapatkan rumah yang ditinggalinya. Beredar rumor di tengah keluarga besar bahwa Johan Marannu, ayah Okan, menyimpan harta yang sangat banyak. Mereka semakin yakin saat mendapati keluarga Okan begitu berkelimpahan sementara ayah dan ibunya tidak bekerja. Bahkan semakin menjadi-jadi saat orang tua Okan menyumbang dua miliar untuk sebuah yayasan kanker nasional.

"Hiasan itu sangat penting buat, Tante. Penuh kenangan tentang Ayahmu. Bagi Tante, ia adik terbaik. Eh, Tante harap kamu kali ini datang di acara makan malam keluarga besar Marannu. Kamu sudah tiga kali tidak datang. Kami sangat merind—"

"Baik, Tante, tapi jangan anggap ini sebagai janji. Aku banyak kerjaan di sekolah," sela Okan.

"Baiklah, sampai ketemu lain waktu. Hubungi Tante jika ada kabar soal hiasan kayu hitam itu."

"Lho, Tante sudah baikan? Tidak ingin beristirahat sebentar? Atau sebaiknya kupanggilkan dokter? Di depan rumah ada Pak Mantri Suseno."

"Tidak perlu, Okan. Tante harus kembali ke pelabuhan. Jaga dirimu."

Tante Kirei kembali memakai kacamatanya. Dengan susah payah ia berdiri dan berjalan lambat menuju pintu. Lalu keluar dan menelepon seseorang. Tak lama kemudian, mobil SUV biru datang menjemput. Ia tersenyum pada Okan yang berdiri di depan pintu.

***

Okan menyusun kembali barang-barang ayahnya. Matanya melirik buku agenda bersampul kulit di lantai. Pita biru pembatas buku menjuntai keluar, dan Okan segera saja membuka halaman buku agenda itu. Sebuah foto meluncur dari dalam halaman agenda yang kosong tanpa tulisan. Dalam foto terlihat ayah dan ibu Okan berpelukan erat dalam balutan jaket tebal saat berlibur ke Reykjavik, Islandia. Di belakang mereka ada meja penuh makanan. Di dekat botol anggur ada patung burung terbuat dari kayu hitam.

"Apa ini yang Tante Kirei maksudkan? Ini hanya patung biasa. Mengapa ia begitu menginginkan patung itu?"

Ia kembali melihat agenda ayahnya dan membolak-balik halaman demi halaman. Beberapa kalimat sulit terbaca, seperti terburu-buru ditulis. Sampai akhirnya mata Okan tertuju pada sebuah gambar simbol yang tidak asing.

"Ini sama dengan simbol di koin merah." Okan lalu merogoh koin merah di kantong celananya.

Okan kembali membaca agenda Ayahnya. Ada tulisan kecil di sebelah simbol itu:

Burung merah darah memberi kami kesempatan untuk mengubah banyak hal di dunia ini. Batasnya adalah tanggung jawab.

Kalimat itu membuat Okan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

***

Setelah membereskan piring kotor di dapur. Okan kembali ke kamarnya lalu duduk di meja kerja dan melihat ke luar jendela. Pak Mantri sedang asyik di kursi goyang miliknya, mendengarkan lagu lawas Bukit Berbunga oleh Uci Bing Slamet. Jangkrik-jangkrik ikut mengiringi. Sementara itu Okan berkutat lagi dengan tugas-tugas siswa yang harus diperiksanya.

Sudah jam sepuluh malam saat Okan selesai memeriksa kertas-kertas itu. Kelelahan mulai datang, dan membuatnya mengantuk. Lalu ia segera berpindah ke kasur empuk yang sudah menantinya. Lampu dibiarkannya menyala.

***

Dua puluh meter dari rumah Okan, seorang pria dengan jaket kulit sedang mengetik pesan singkat. Ia tetap waspada dan memperhatikan rumah Okan dari jauh. Pesan balasan masuk ke ponsel pintar miliknya.

+62853475XXXXX
Jangan malam ini!

Pria itu mengernyitkan dahi. "Dasar tukang atur," katanya. Ia pun segera angkat kaki sebelum ada yang mencurigainya.

Sementara itu, Okan memandangi lukisannya yang belum selesai, bertanya-tanya kapan ia bisa menyelesaikannya. Dalam hati ia kembali mengingat tulisan ayahnya.

Batasnya adalah tanggung jawab.

MINDROOM [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang