Saat dihadapkan pada rasa sakit yang melewati ambang batas, kau hanya punya dua pilihan: menolak atau menerima. Menolaknya dan kau akan mendapati dirimu semakin lemah, lalu kau akhirnya melacurkan diri kepada takdir. Kau akan berbuat apa saja untuk menghindari rasa sakit itu. Atau menerimanya, dan kau akan menjadi manusia yang sama sekali berbeda. Kau menjadi teman dengan rasa sakit. Seketika kau seperti berdiri di puncak dunia, dan tak ada yang bisa menggesermu dari sana. Kau tak terkalahkan.
***
Seorang pria setengah baya dengan tubuh penuh memar dan noda darah terduduk di tengah ruangan interogasi. Tangan dan kakinya terikat rapat ke kursi besi yang berkarat. Ia tak dapat merasakan wajahnya lagi. Juga tak bisa melihat orang-orang yang mengawasinya dari balik kaca tebal yang gelap dan kedap suara.
Sementara di luar, dua pria dan seorang wanita sedang berdiskusi. Salah satu pria mengambil telepon genggam dari meja dan membawanya masuk ke dalam ruang interogasi.
"Sekarang bisa kan kau telepon dia!!!"
"..." Pria setengah baya itu hanya terdiam.
"Hei, telepon dia cepat! Beritahu posisimu padanya!!!"
"Aku tidak bisa..."
Pria yang menginterogasi tak dapat menahan dirinya.
Pukulan dan tendangan bertubi-tubi membuat pria yang terluka parah itu jatuh bersama kursinya. Matanya nanar menatap langit-langit ruangan itu.
"Jangan terlalu keras padanya," kata seorang wanita.
"Diam kau perempuan!"
"Wina berkata benar, Bram!! Kau sudah melewati batas kali ini."
Sementara itu, Wina memberi kode pada seorang remaja yang sedang memegang laptop di dekat pintu. Laptopnya terhubung dengan handycam di dalam ruang interogasi. Remaja itu merekam semua hal. Melihat kode itu, ia menghentikan perekaman untuk sementara waktu.
"Minta waktu 10 menit. Aku mau keluar sebentar membeli makanan," kata remaja itu.
"Jangan terlalu lama," Wina memberitahunya.
Wina lalu masuk kembali ke ruang interogasi membantu menegakkan kembali tahanan mereka yang terbaring dengan kaki terangkat dari lantai, masih dalam posisi duduknya, dan ia juga memberinya segelas air. Wina kemudian segera keluar lagi.
"Bram, menurutmu rencana Sam akan berhasil?"
"Vincent, sejak kecil aku tidak pernah seratus persen yakin padanya. Tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Untuk saat ini aku memang tidak punya rencana apapun. Setelah kegagalan di rumah Okan kemarin, aku mulai tidak bisa berpikir jernih. Itulah mengapa aku mau melakukan rencana Sam, meski kesalahan kemarin jelas akibat perhitungannya yang buruk."
"Dan rekaman itu bagaimana?"
"Bocah itu akan mengirim video ini lewat email. Kita berharap Okan akan melihat dan meresponsnya segera. Sam yakin Okan akan terpancing."
"Apa di sana ada internet?"
"Pertanyaan macam apa itu, Vincent? Itu mindroom! Kau bisa mengendalikannya dengan pikiranmu. Tentu saja internet adalah hal yang mudah." Bram dengan yakin menjawabnya.
"Jadi kau pernah masuk ke sana?" tanya Vincent lebih jauh.
"Eh, tentu tidak. Sam yang pernah masuk ke sana. Tapi kau tahu, saat ia keluar dari mindroom, beberapa ilmuwan lain merebut kunci masuknya. Itulah sebabnya kita melakukan semua ini. Sam yakin kalau mereka akan menggunakan mindroom untuk hal-hal yang buruk. Kita harus menghentikan mereka. Kita akan jadi pahlawan." Bram begitu bersemangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
MINDROOM [TAMAT]
Science Fiction[PEMENANG WATTYS 2017] BUKU PERTAMA MIND TRILOGY Okan, guru Seni Rupa SMA yang hobi menabung koin ke dalam lubang yang berada di dalam dinding, menemukan salah satu dari koin koleksinya adalah kunci masuk ke dalam mindroom, ruang yang bisa dikendali...