Pak Syamsul adalah pria paruh baya yang sangat menghargai pengetahuan. Ia mencintai sejarah, bukan karena itu adalah jurusan yang diambilnya ketika kuliah, melainkan karena ketertarikannya sejak kecil terhadap hewan-hewan yang sudah punah. Maka buku paleontologi menjadi pengisi sebagian besar waktunya selain mengajar ilmu sejarah.
"Ini burung perak Argentavis magnificens, penghuni dataran luas Argentina yang sayangnya sudah punah. Bentangan sayapnya 7 meter, tingginya 1,5 meter, dan beratnya 72 kilogram." Pak Syamsul mencoba menjelaskan gambar burung yang dilihatnya di kedua sisi koin merah tersebut.
Koin merah kini berada di tangan Pak Syamsul yang juga tampak kebingungan mengenai asal muasal koin itu. Dia membolak-balik koin itu dan memperhatikan detail setiap sisinya. Okan memutuskan untuk mendiskusikan koin itu dengan Pak Syamsul, karena di kota tempat mereka tinggal dialah satu-satunya orang yang punya pemikiran cukup maju untuk membahas hal-hal unik seperti ini.
"Kira-kira asalnya dari negara mana, Pak Syamsul?"
"Maaf, Pak Okan, saya benar-benar tidak tahu asal koin ini. Tebakan saya koin ini dari Eropa. Mungkin saja dibuat khusus untuk koleksi. Teknologi pembuatan koin ini tidak begitu maju, dibuat dengan cetakan moulding gips biasa. Namun, yang membingungkan adalah jenis logamnya." Pak Syamsul melepas kacamatanya dan mulai memijit punggung hidungnya.
"Saya juga heran, Pak. Kok ada logam berwarna merah darah seperti ini? Dulu saya pernah lihat koin tembaga dari Inggris, tapi tidak semerah ini. Ada juga batuan bernama hematit, memang berwarna merah darah tapi sangat berbeda dengan logam koin aneh ini."
Okan tampak kurang puas dengan hasil diskusi kali ini.
Mereka berdua duduk termangu sambil menggaruk-garuk kepala. Benda misterius itu benar-benar mengocok rasa ingin tahu mereka. Bel mata pelajaran membuyarkan diskusi mereka.
"Nanti kita diskusi lagi, Pak Okan. Toh kamu sudah tahu nama burung itu, silakan cari tambahan informasi di search engine. Saya tidak mahatahu." Mereka berdua tersenyum, lalu berjalan keluar ruang guru menuju kelas masing-masing.
"Eh, Pak Okan, tunggu sebentar. Begini, apa boleh koin itu saya bawa pulang saja? Agar saya bisa menelitinya lebih jauh."
"Hmm, rasanya tidak perlu. Mungkin koin ini akan kumasukkan ke celengan saja."
"Oh, baiklah. Jika kau berubah pikiran, telepon saja," tutup Pak Syamsul. Mereka kembali saling memunggungi dan berjalan ke tujuan masing-masing.
"Koin yang sangat menarik," batin Pak Syamsul.
***
Kepala Okan dipenuhi pertanyaan. Ia mengenal baik semua koin yang sudah dimasukkannya, tapi tidak dengan yang satu ini. Membuatnya tidak konsentrasi mengajar. Beberapa kali Okan salah menarik garis lurus di papan tulis. Beberapa siswa menertawainya.
Siswi pindahan bernama Tirza tiba-tiba mengangkat tangan. Sejak tadi ia menyimpan sebuah pertanyaan kecil dalam benaknya.
"Pak Okan, untuk tugas gambar apa boleh menggunakan tablet grafis?" Pertanyaan Tirza berujung pada sebuah senyuman lebar.
Okan berpikir sejenak, lalu mulai menjawab.
"Selama itu hasil karyamu sendiri boleh-boleh saja. Saya bahkan berharap kamu mengajarkan cara pakai alat itu kepada teman-temanmu. Bapak akan coba mengajukan proposal pengadaan tablet grafis di sekolah kita, bagaimana?"Semua siswa bersorak. Mereka sudah pernah melihat Tirza menggambar secara langsung ke tablet grafisnya. Perkataan Pak Okan kali ini membuat mereka semakin bersemangat.
"Tirza, nanti ajari kami ya?" kata seorang murid bernama Sultan.
Bel tanda pelajaran usai berbunyi. Siswa siswi segera memasukkan buku dan alat tulis mereka ke dalam tas. Bersiap menghambur kembali ke dalam kehidupan masing-masing.
"Sampai jumpa, anak-anak. Jangan lupa baca halaman 45 tentang gambar perspektif, dan jangan lupa tugas piket kalian. Kemarin kalian lupa membersihkan kelas." Beberapa murid tampak kecewa.
***
Dalam perjalanan pulang, Okan kembali mengingat koin merah itu. Malam ini akan digunakannya untuk browsing dan mencari tahu lebih banyak. Ia bertekad mengetahui dulu asal muasal koin itu sebelum berakhir di lubang gelap di dinding rumahnya-- sebuah lubang setebal 0,5 sentimeter yang berujung pada sebuah brankas baja tebal setinggi satu meter di ruang bawah tanah rumahnya. Sampai hari ini Okan melakukan hobinya tanpa mengetahui alasan mengapa ayahnya memasang brankas itu. Ayahnya hanya menjelaskan nantinya brankas akan mengeluarkan suara dan terbuka sendiri jika sudah penuh. Kadang Okan ingin berhenti karena merasakan aktivitas itu terlalu kekanak-kanakan, tetapi sulit menekan kebiasaan yang sudah dimulai sejak kecil.
Kaki Okan mulai letih mengayuh sepeda di tanjakan. Namun, ia bisa sedikit santai di turunan panjang setelah tanjakan tadi. Bersepeda di bukit memang melelahkan sekaligus menyenangkan. Ia bisa melihat laut dari posisi sekarang. Angin sejuk terus menerpa wajahnya, ia bisa merasakan kalau kelembapan udara meningkat akhir-akhir ini.
Mata Okan beralih pandang dan mengarah ke depan. Terlihat Rina melambaikan tangan di kejauhan. Ia memegang permen lolipop besar.
"Hai, Rina. Pak Mantri yang kasih permennya?"
Rina menggeleng. Lalu kembali menjilati lolipop besar rasa mangga yang dipegangnya.
"Kacamata..." Rina menunjuk rumah Okan.
Okan tak mengerti apa maksud Rina. Ia melambaikan tangan pada Rina. Lalu menuntun sepeda menuju rumahnya. Okan membuka pagar dan memarkir sepedanya di halaman. Sedikit khawatir dengan kelangsungan hidup kaktus-kaktusnya, ia memberi mereka sedikit air.
Raut kelelahan terpancar dari wajah Okan. Saat memasuki rumah, air mukanya berubah siaga karena terdengar suara keributan dari ruang bawah tanah. Okan bergerak cepat dengan mengambil pemukul bisbol di kamarnya. Perlahan Okan berjalan menuruni tangga berdebu. Pemukul bisbol ia genggam erat.
![](https://img.wattpad.com/cover/33494085-288-k233318.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MINDROOM [TAMAT]
Sci-fi[PEMENANG WATTYS 2017] BUKU PERTAMA MIND TRILOGY Okan, guru Seni Rupa SMA yang hobi menabung koin ke dalam lubang yang berada di dalam dinding, menemukan salah satu dari koin koleksinya adalah kunci masuk ke dalam mindroom, ruang yang bisa dikendali...