"Sasha ... kamu maen kabur aja, kirain abis dari minimarket mau balik lagi. Soto kamu belum dibayar tau!" sungut Laras sambil memonyongkan bibirnya."Astagfirullah, aku lupa, Ras. Aku ke tukang soto itu dulu kalo gitu." Aku bergegas, tapi Laras menahanku.
"Sudah aku bayar," katanya.
"Ya ampun, Ras, makasih ya. Sekarang aku ganti, deh. Berapa semuanya?"
"Udah, gak apa-apa gratis, aku bayarin. Lagian sotonya juga abis sama aku hehehe."
"Hah? Kamu gembul juga ternyata, tapi aneh badanmu kok kurus, sih?"
Laras terkekeh. "Ini mah udah bawaan orok."
"Ish, aku ngiri."
Pagi menjelang siang, aku habiskan dengan ngobrol-ngobrol bersama Laras, sesekali Kaila ikut nimbrung, tapi tak lama dia pergi jalan-jalan dengan temannya. "Kalian enggak keluar? Jakarta cerah hari ini, sayang banget kalau cuma duduk-duduk bengong di kosan," tutur Kaila ketika dia akan pergi.
Ya, Jakarta memang cerah hari ini, dan akan sangat asik kalau bisa jalan-jalan weekend ini, tapi aku takut badanku ambruk lagi, sedangkan Laras ingin berhemat, dia belum dapat kerja, katanya dia tidak keterima di perusahaan tranding tersebut. Dan sekarang dia sedang menunggu kabar dari perusahaan telekomunikasi. Ah, Laras, maafkan aku karena diam-diam sudah berharap kamu enggak keterima di perusahaan tranding itu. Soalnya kenapa? Katamu, kerja di sana dilarang pakai kerudung, sedangkan aku tahu, kamu sudah mulai tertarik mengenakan hijab. Sekarang aku berdoa semoga kamu keterima kerja di perusahaan telekomunikasi itu. Kehadiran Laras berhasil membuang rasa sepi dan gundah di hatiku. Topik yang dia bicarakan pagi ini, berhasil membuatku sejenak melupakan problem berat yang tengah mencekikku.
Hari ini entah kenapa aku merasa happy setelah tahu Tante Lisda cuma pura-pura hamil, hormon serotonin dan oksitosin rupanya masih bekerja lebih kuat di otakku, dan seketika pula aku merasa bodoh telah membeli minuman soda tersebut. Sekarang aku bimbang, apakah aku harus memberitahu Om Arif mengenai ini semua? Lalu setelah memberitahunya bagaimana? Om Arif batal menceraikan Tante Lisda, lalu menikahiku? Lalu tanggapan orang-orang bagaimana?
Ah, problem ini tetap berputar-putar saja seperti gasing. Poros tubuhku langsung tegang jika teringat ke sana. Otakku tak mampu membayangkan ke sana, terlalu mengerikan rasanya. Ucapan Nindi kemarin kembali terngiang, "Kamu sudah berbuat dosa, jangan tambah lagi dengan dosa yang lain, oke?" Kamu memang benar, Nin, lalu apakah sekarang aku harus membiarkan anak ini hidup?
Ting.
Suara ponsel Laras membuyarkan lamunanku. Laras membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Keningnya mengerut, wajahnya memberengut, lantas dia menghela napas kasar. Entah siapa yang mengiriminya pesan hingga ekspresi dia seperti tidak senang.
"Sha, aku mau cabut nih, si Andra mewek minta aku ke tempatnya sekarang. Tauk tuh, dia suka lebay emang."
"Andra siapa?"
"Temen SMA sekaligus temen kuliah aku, dia ngekos gak jauh dari sini."
"Oh." Entah kenapa aku enggak suka Laras nyaperin kosan laki-laki, tapi aku tidak bisa melarang-larang dia. Itu urusannya, haknya juga.
"Aku mandi dulu, ya, Sha," katanya lalu masuk ke kosannya. Tak lama setelah Laras masuk, ada telepon dari Nindi. Aku langsung mengangkatnya.
"Halo, Nin?"
"Sasha, kamu lagi istirahat, ya?"
"Enggak juga, sih, aku lagi ngobrol-ngobrol sama temen kosan. Ada apa, Nin?"
"Mmmm, ngomong-ngomong kondisi kamu gimana sekarang? Masih sakit, kah?"
"Udah enggak, sih, obat dari dokter ternyata ampuh juga, hehe."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
Ficción GeneralMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.