Seharusnya ada pepatah yang mengatakan, "Jika kamu menginginkan sesuatu, maka ambil satu saja, jangan dua. Karena satu akan menggenapkan, sedangkan dua menghilangkan dan menghancurkan." Pengalaman pahitku sudah memformulasikannya, aku sudah punya satu, tapi aku malah mengambil dua. Kerakusan hati ini telah melenyapkan dan menghancurkan semuanya.Aku memandang wajah yang masih terlelap dalam mimpinya. Hatiku bergetar hebat setiap kali memandangnya. Dia begitu cantik, maksudku bukan hanya cantik rupa, tapi dia cantik dalam segala hal. Lisda masih unggul jika harus diadu cantik rupa. Aku jatuh cinta, aku tak berdaya, hingga rasanya hati ini mau meledak karena tak mampu menahan gejolaknya. Tidak ada yang namanya cinta terlarang. Sungguh tidak ada. Semua cinta itu suci dan agung karena rasa tersebut datangnya dari Tuhan. Kondisilah yang membuatnya terlarang.
Aku menelungkupkan wajah ke sisi ranjang pasien. Tak tahan rasanya untuk tidak meluruhkan air mata yang sedari tadi ingin meloloskan diri. Tolong bangun, Sha. Kalau kamu bangun nanti, kamu jangan mikir apa-apa, jangan sedih, aku yang akan membereskan semuanya. Semoga aku bisa melindungimu. Bagaimanapun caranya aku akan melindungimu.
Aku mengusap mataku yang basah, mengangkat wajah, lalu tak kusangka ternyata kedua mata Sasha sudah terbuka. "Sasha, kamu udah bangun?" Melihat wajahnya yang pucat, dan binar matanya yang sedih, air mata yang sudah kuusap, sekarang datang lagi. Sasha masih diam, mungkin dia masih lemas.
"Maafin saya, Sha, semuanya salah saya." Aku mencoba mengatakan apa pun sambil mengusap mataku yang berair dengan punggung tangan.
"Saya sangat takut melihat kamu begini." Sasha menatap sendu dengan pancarnya yang penuh luka. Tangisku meledak, tak tahan rasanya melihatnya menderita seperti ini. Akulah yang sudah membuatnya seperti ini. Ingin sekali memeluknya dan mengucapkan berjuta kata maaf, tapi aku hanya mampu merundukkan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Aku sudah tidak peduli dengan dunia di sekitarku, tidak peduli jika ada perawat yang melihat, atau pasien lain yang terganggu dengan suara tangisanku.
Di duniaku sekarang cuma ada Sasha. Tak ada yang lainnya.
"Om ...." Aku mendengar Sasha bersuara walau sangat pelan. Aku mendongakkan wajah, menghapus air mata yang menganak di mataku.
"Iya, Sha?"
"Tante Lisda ...."
"Kamu jangan mikirin apa-apa dulu, Sha, kata dokter kamu harus dirawat beberapa hari di sini. Saya mohon, kamu jangan mikirin Lisda atau lainnya. Pliisss, yang harus kamu pikirin sekarang adalah dirimu sendiri dan anak kita. Kalian kekurangan nutrisi, itu bahaya buat perkembangannya."
Tatapan Sasha berubah seperti membenci setelah mendengar ucapanku. Apa aku salah bicara?
"Aku enggak peduli dia kekurangan nutrisi atau apa. Aku juga enggak peduli dia mati sekalipun, kemarin aku malah mau membunuhnya. Yang aku pikirin sekarang gimana Tante Lisda, Mama, Papa, dan keluargaku yang lain!"
Ucapan Sasha rasanya sangat melukai hatiku. Wajar Sasha berpikir begitu, tapi apa dia enggak memikirkan aku sedikit pun? Apa dia melupakan kesepakatan kita kemarin di depan cafe SunHan? "Jangan bunuh anak yang enggak berdosa, Sha, saya mohon jangan! Kita udah bikin dosa besar, jangan sampe ditambah dengan dosa yang lain."
"Aku bosan mendengar kata-kata itu! Aku muak!" Sasha menangis terisak-isak.
Paham. Aku paham betul dengan perasaanya sekarang. Aku mencoba meraih tangannya untuk sekadar menenangkannya sedikit, tapi tanganku dihempaskan dengan kasar. Hatiku kembali terluka."Sebaiknya Om pergi, sekarang aku enggak mau lihat Om di sini."
Aku menunduk dan menelan saliva. Sepertinya Sasha benar membenciku sekarang. Dibenci oleh wanita yang aku cintai, ditambah dia ingin membunuh darah dagingku sendiri rasanya lebih sakit daripada patah hati seribu kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
General FictionMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.