Pov Arif Mikaila Syahputra
Napas akan melega jika sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah akan deras mengalir jika jantung tak dipakai dua kali. Jiwa tak harusnya dibelah, tapi pertemukan dengan jiwa lain yang searah. Itulah apa yang aku yakini sekarang. Tak ada belahan jiwa, tapi pertemuan jiwa yang searah. Aku telah menemukan jiwa itu dan berharap bisa berjalan seiring.
Rindu ini terasa mencekik jika tak melihatnya walau sedetik. Namun, entah kenapa hati ini mengatakan aku tak berhak dengan rindu ini. Sasha membenciku, dia tak mau melihatku. Tadi pagi aku kembali diusirnya, padahal aku ingin menemaninya, tapi aku mencoba bertahan di sana, dan memastikan pagi ini dia makan dengan baik.
Sasha dikunjungi teman-teman kantornya yang dia sebut Tim Ezar, saat ini dia sedang berada di dunianya dan aku merasa tak berhak masuk ke dunia itu. Hatiku merasa terusik saat berkenalan dengan laki-laki bernama Stefan Renaldi, Sasha memanggilnya Mas Aldi. Aku merasa ada yang tak beres dengan laki-laki itu. Sorotnya saat memandang Sasha sama denganku seperti ada yang membuncah dengan kuat dari hatinya. Radarku seperti menjalankan scanning, mataku tak lepas mengamati gerak-gerik pria itu, tiba-tiba sesuatu tertangkap oleh radarku. Ternyata pria itu menyukai Sasha. Aku tak akan salah.
Hatiku mencelos dan seperti ada yang tersulut hingga menimbulkan hawa panas. Sungguh aku tak ikhlas! Sasha sedang mengandung anakku, dia tak boleh bersama yang lain. Rupanya sisi egoisku tengah bereaksi dengan kuat. Aku ingin berontak dan mengusir mereka semua pergi, tapi itu cuma ada dalam angan. Nyatanya aku hanya bisa bersandar di tembok sambil merundukkan kepala.
Tak lama seorang pria yang tampangnya sedikit bule keluar menemuiku. Senyum terlukis di wajahnya yang kemerahan. Ah, iya aku baru ingat pria itu bernama Haezar.
"Mas, sodaranya Sasha?" tanyanya sambil ikut bersandar di sampingku.
"Iya," jawabku sekenanya.
"Sasha sakit apa sebenarnya, Mas? Dia sering sakit, minggu lalu juga dia pingsan di kantor. Sebagai seniornya saya khawatir melihatnya sering sakit begini. Saya sampe dimarahin bos gara-gara dia pingsan di kantor waktu itu. Bos pikir saya enggak becus jadi ketua Tim karena enggak tau anggota saya sakit." Pria itu terkekeh pelan.
"Sasha enggak sakit apa-apa, dia hanya kelelahan."
Ada yang beda dengan tatapannya saat aku mengatakan itu. Hatiku terenyak. Feelingku bilang, Haezar tahu sesuatu. Dia mengembuskan napas, tapi senyum masih terlukis di bibir tipisnya. "Mas, jaga Sasha, dia membutuhkan orang yang benar-benar sayang buat ada di sampingnya."
Deg! Ternyata benar feelingku pria ini tahu sesuatu. Apakah Sasha sangat dekat dengannya? Hari ini aku mendapat banyak kejutan tentang kehidupan Sasha di kantornya. Apakah Haezar menyukai Sasha juga? Ah, sepertinya tidak, aku tak menemukan sorot mata yang sama seperti Stefan, dan radarku juga tak menangkap itu.
Aku mengangguk.
"Sasha itu copy writer yang berbakat, Mas, saya akuin itu. Proyek yang baru-baru ini kita kerjakan bareng berjalan lancar karena berkat dia juga. Sayang banget kalau dia menyia-nyiakan bakatnya."
Entah apa maksudnya dia berkata seperti itu padaku. Aku mendongak dan menoleh padanya. "Maksud Mas apa bilang seperti itu sama saya?"
"Sebaiknya kita jangan bicara di sini, ada Bang Aldi sama Nindi. Kita bicara di luar, Mas." Haezar balik badan lalu melangkah keluar. Dengan enggan aku mengikutinya, dia duduk di sebuah bangku kayu dekat taman sederhana depan klinik tersebut. Aku duduk di sampingnya.
"Mas beneran saudaranya Sasha?" Haezar mengulang pertanyaannya seolah tidak percaya apa yang aku katakan.
"Iya, saya saudaranya," jawabku tegas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
Ficção GeralMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.