Tanpa disangka, ketika aku berjalan menuju kosan, rupanya Om Arif mengejar, dia menarik tanganku, hingga hampir saja aku menghambur ke tubuhnya kalau saja tidak aku tahan.
"Sha ...," ucapnya pelan.
Aku melihat sekarang pipi Om Arif basah, matanya pun memerah dan bersaput air. Apakah dia menangis? Dia menundukkan kepala, pundaknya terlihat naik turun seakan napas itu terasa sesak baginya. Apakah dia terluka oleh ucapanku tadi?
Dia mendongakkan wajahnya."Saya mohon, Sha, tarik semua ucapan kamu tadi, saya mohon ...!" Dia menangkupkan kedua tangannya di depan muka. Dan ... sorot matanya merenggut semua perbendaharaan kata yang akan aku ucapkan. Semuanya berkecamuk dan menyatu pada sebuah kata. Luka.
"Saya tidak mau__" Ucapan dia terhenti. Aku lihat jakun Om Arif bergerak-gerak seolah kesusahan menelan salivanya sendiri. Dan dia seperti tengah mengumpulkan daya agar bisa bersuara kembali.
"Saya enggak mau kamu ninggalin saya. Saya mohon, Sha, saya ingin mengakhiri semuanya dengan Lisda dan memulai dengan kamu. Izinkan saya menyelesaikan semuanya, setelah itu datang padamu."
"Om ngertiin aku gak, sih? Om, Tanteku sedang hamil, kalian akan punya anak, Om jangan egois kayak gini! Anak itu butuh bapaknya, jangan karena cinta bodoh ini, Om mengabaikan anak sendiri!" Suaraku yang agak stereo membuat orang-orang di sekeliling memerhatikan kami. Aku tidak peduli, yang penting misiku untuk membuat Om Arif pergi tercapai.
"Cinta bodoh? Saya enggak menganggap ini cinta yang bodoh, konyol, atau apa pun, bagi saya mencintai kamu adalah anugerah, saya tidak bisa mencegah anugerah itu datang pada saya. Tolong Sasha, berikan saya kesempatan! Biarkan saya mengisi masa depan kamu. Lagian saya kurang begitu percaya kalau Lisda hamil, siapa tau dia cuma ngarang cerita biar kami batal cerai."
"Astagfirallah, Om! Tanteku enggak sejahat itu! Aku kenal banget dia gimana."
"Kamu, Papa Mama kamu enggak kenal dia. Itu semua cuma topeng. Dia orang yang enggak bener. Saya yang tahu banget dia gimana."
"Maksud, Om? Aku enggak terima, ya, Tanteku dituduh yang enggak-enggak!"
"Saya enggak nuduh, saya bicara kayak gini, karena udah punya bukti-bukti kuat, tadinya semua itu akan saya jadikan bukti di pengadilan kalau saja Lisda enggak bikin drama kayak gini."
Aku menelan ludah dengan sedikit kesusahan. Benarkah itu? Benarkah Tante Lisda seperti itu? Memang benar akhir-akhir ini dia sedikit berubah, jarang di rumah kalau libur, dan dia jarang sekali salat, tapi aku masih berusaha meyakini bahwa tuduhan pria di depanku tidak benar.
"Terserah kamu mau percaya atau enggak, yang jelas dan yang pasti cinta saya untuk Lisda udah lenyap. Allah sudah membalikkan hati saya untuk mencintai kamu. Kalau sudah begini, saya bisa apa? Selemah-lemahnya makhluk di bumi adalah manusia yang jatuh cinta, pun sekuat-kuatnya makhluk di bumi adalah manusia yang jatuh cinta, konteks-lah yang membedakannya."
Mendengar ucapannya, entah kenapa kepalaku yang tadinya baik-baik saja, kembali berdenyut hebat. Apakah seorang pria jika sudah melabuhkan hatinya pada wanita akan segigih ini? Ya Allah, aku harus gimana sekarang?
"Kita bicara nanti lagi, Om, sekarang aku benar-benar ingin istirahat."
"Besok kamu libur kerja, kan? InshaAllah besok aku mau ke sini lagi__"
"Jangan, Om. Aku enggak mau Om nemuin aku di kosan lagi, aku mohon! Tolong untuk yang ini Om ngertiin aku. Aku tidak enak sama orang-orang kosan."
Aku teringat Laras tadi sore menyaksikan konflik antara aku dan Om Arif, dan sebelum aku datang, entah mereka ngobrolin apa aja. Habis ini pasti dia akan memberondongkan pertanyaan-pertanyaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
Ficción GeneralMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.