Sore hari setelah agak baikan, aku pulang diantar Nindi ke kosan. Entah kenapa sikap Nindi jadi agak kaku setelah mengetahui aku hamil. Apakah mungkin dia ilfil? Ya, mungkin saja. Ada orang pake jilbab, tapi hamil di luar nikah. Konotasi negatif itu wajar saja terjadi di setiap kepala, karena citra orang berjilbab itu baik, mustahil begini, mustahil begitu. Padahal, tidak ada hubungannya jilbab dengan sikap atau watak manusia. Aku benar, bukan?
Karena mobil yang kami tumpangi tidak bisa masuk ke dalam gang, Nindi cuma bisa mengantarku sampai depan gada-gada saja. Ketika aku akan turun dari mobil, Nindi menatapku dengan tatapan aneh, entah apa yang ada di benaknya saat itu. Aku menarik gagang pintu mobil.
"Sha ...." Nindi menahanku keluar. Aku menoleh, duduk dengan posisi semula. "Iya, Nin?"
Nindi terdiam sesaat. "Aku mohon, kamu jangan berbuat nekad habis ini, pliiisss! kamu kuat Sha, dan anak itu berhak hidup di rahim ibu yang kuat."
Deg! Apakah Nindi tahu apa yang aku pikirkan? Kenapa dia bilang begitu? Asal kamu tahu saja, Nin, masalah ini tidak sesederhana yang kamu pikirin. Ini terlalu rumit untukku. Kamu mudah saja bicara seperti itu, tapi coba jika kamu berada di posisiku, pasti kamu akan membunuh anak ini juga. Aku yakin.
"Kamu sudah berbuat dosa, jangan tambah lagi dengan dosa yang lain, oke? Ya, aku memang bukan orang baik. Aku pernah ngobat, miras, balap liar juga, tapi untuk sex, big no! Karena apa? Itu cuma bikin kita sebagai perempuan rugi, kalau laki-laki sih, aman-aman aja. Makanya saat aku lihat cewek yang MBA itu miris banget, apalagi sekarang aku__liat kamu, Sha. Entah kenapa hatiku sakit lihat kamu begini, tapi waktu liat temen-temen aku yang MBA, rasanya aku enggak sampe begini karena aku tau mereka itu emang cewek gak bener. Tapi kamu ...."
Aku merasa tertampar mendengar ucapan Nindi. Dadaku tiba-tiba sesak, bendungan di mataku seperti menggedor-gedor ingin segera tumpah ruah. Sore ini Nindi sudah melemparku ke dalam jurang bernama realita. Ya benar, apa yang Nindi katakan semuanya benar. Semua ini cuma bikin kita sebagai perempuan rugi serugi-ruginya.
"Sha, walaupun kamu enggak mau bilang siapa laki-laki itu, aku harap dia mau bertanggung jawab, dan kalian segera menikah."
Aku mendadak seperti bisu. Pita suaraku porak-poranda. Aku ingin menimpali ucapan Nindi, tapi entah kenapa semua yang diucapkannya seolah membungkamku. Aku tak berdaya. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menganggukkan kepala bersamaan dengan meluruhnya air mata dari mata ini.
"Istirahatlah, Sha, besok kan weekend,
Gunain itu buat istirahat. Habis ini aku balik ke kantor, Ezar sudah wanti-wanti, konsep yang tadi siang diomongin sama Bos, harus beres malam ini."Aku menelan ludah. Ezar pasti semakin membenciku, disaat sibuk seperti ini, aku malah sakit.
"Iya, Nin, makasih, ya."
Nindi senyum, tapi aku tetap merasa ada yang beda dengan tatapannya. Aku keluar dari mobil, Nindi menjalankan mobilnya kembali ke kantor, aku menatap mobil itu hingga menghilang, lalu mengayunkan kaki ke dalam gang, menyusuri jalanan yang sudah disemen, menyingkir sebentar ketika ada sepeda motor, atau gerobak Abang jualan.
Hiruk pikuk kota Jakarta yang menjengahkan. Tiba-tiba aku rindu rumahku, lingkunganku yang tenang. Walaupun sekarang hidupku tidak setenang dulu, tapi bolehkan aku mencicipi ketenangan itu lagi?
Mama ... Papa ... maafin Sasha. Aib ini sudah mencoreng wajah kalian tanpa ampun. Setiap malam, selama hampir dua minggu ini mataku basah, sejak malam nista itu terjadi, hanya kalian yang memenuhi pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
General FictionMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.