"Om Arif ...."
Dia mengangkat wajah saat mendengar suaraku. Seulas senyum langsung tersungging di bibirnya. Aku menunduk. Sungguh aku enggak mau melihat senyuman itu sekarang.
"Ngapain Om ke sini?" tanyaku ketus. Masih tanpa menatapnya, tapi ekor mataku mampu melihat Om Arif bangun dan menghampiriku.
Dengan refleks aku mundur beberapa langkah. Demi Tuhan, ketika melihat tubuh itu, seketika juga aku teringat pada malam nista itu. Aku bergidik. Rasa mual tiba-tiba menghantam perutku.
"Sha, saya__mau bicara," katanya dengan suara tercekat-cekat.
"Bicara apa, Om?" Aku masih sinis.
"Tentang kita."
Perlahan aku memberanikan diri melihat matanya. Sorot itu menceritakan kesedihan, kegundahan, dan__cinta. Aku sungguh melihat cinta di sana untukku.
"Kita jangan bicara di sini," kataku sambil membalikkan badan melangkah pergi.
Sebenarnya aku ingin segera istirahat, seharian bekerja membuat tubuh ini capek, tapi mau gimana lagi. Aku tidak mau berduaan dengannya lagi di kosan. Jujur, itu menyisakan trauma untukku.
Aku mengajaknya ke sebuah kedai kaki lima tidak jauh dari kosan.
"Om mau pesan apa?" tanyaku setelah kita duduk di salah satu meja.
"Tidak, Sha, saya udah makan."
"Ya sudah."
Aku bangkit berdiri memesan mie goreng untukku, dan dua es teh manis satu untukku, satu lagi untuk Om Arif. Aku kembali ke kursi.
"Sha, saya udah ngajuin perceraian ke pengadilan, inshaAllah minggu depan sidang pertama dimulai dengan agenda mediasi," ucapnya to the point, saya enggak kuat lagi menjalani semuanya. Saya__pengen sama kamu, Sha. Saya mohon kasih saya kesempatan. Apalagi kemarin kita__"
Aku menutup telinga tidak mau ucapan nista itu tertangkap telingaku dari mulut Om Arif. "Hentikan, Om!"
Tenggorokan Om Arif tercekat menghentikan ucapannya.
Perlahan aku menurunkan tangan. "Om tau? Perbuatan itu salah. Itu dosa besar, Om! Aku nyesel banget. Aku harap Om juga sudah melakukan salat Taubat."
Om Arif menundukkan kepala.
"Saya tahu itu salah, Sha. Tahu banget. Saya juga nyesel banget. Sejak hari itu saya terus kepikiran kamu, khawatir, saya tau kamu pasti terguncang banget, dan pasti nangis terus. Makanya saya datang ke sini sekarang, saya udah enggak tahan lagi dengan rasa bersalah ini. Maafin saya, Sha."
Suara Om Arif bergetar seperti mau nangis.
"Saya sayang banget sama kamu," lanjutnya.
Aku memalingkan pandangan ke arah lain, dan dengan sekuat tenaga menahan tangis. Om, kenapa kita harus kayak gini? Kenapa Allah memberi kita cobaan cinta seperti ini? Apakah kita ditakdirkan menderita karena cinta ini? Bukankah tidak ada cinta yang menempatkan insan pada penderitaan? Keadaan lah, yang memaksa manusia berada di sana.
"Sha, setelah apa yang kita lakukan kemarin, enggak ada jalan lain selain kita harus nikah. Gimana kalau kamu hamil? Saya harus bertanggung jawab, kan?"
"Terus gimana nanti tanggapan keluargaku, Om? Apakah Om enggak mikirin gimana perasaan aku? Aku tidak enak sama Tante Lisda. Walaupun nanti kalain udah cerai, tapi kalau kenyataannya mantan suaminya malah nikahin keponakannya sendiri, hatinya pasti sakit banget, Om. Om enggak mikir ke sana?"
"Lalu gimana dengan kita? Gimana dengan hati saya? Hidup ini kejam, Sha. Kalau kita melulu memikirkan orang lain, kapan bahagianya?"
"Om egois! Lagian aku belum tentu hamil, kan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
General FictionMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.