~Hasrat Terlarang~
Part 2Aku menatap diri dengan jijik, meremas rambut kuat-kuat, lalu mengguyur kepalaku berkali-kali, berharap semua dosa yang baru saja aku lakukan ikut hanyut bersama air.
Ya Allah aku menyesal. Sangat menyesal! Harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Memikirkan semua itu membuatku merasa tercekik, kadar oksigen seakan lenyap dan menyisakan kesesakan di dada. Aku menangis sejadi-jadinya di kamar mandi yang dingin. Tengah malam.
Tak lama, terdengar ketukan pintu dari luar kamar mandi. Itu Om Arif. Sekarang entah kenapa aku merasa jijik padanya. Aku enggak mau melihatnya!
"Sha, Sasha ...! Kamu ngapain di dalam? Ayo keluar, nanti kamu masuk angin."
"Enggak mau! Om Arif pergi sana, pergi ...!" seruku sambil menangis. Entah suaraku ini akan didengar oleh penghuni kos yang lain atau tidak.
"Kamu jangan gitu, Sha, ayo kita omongin ini baik-baik. Maafkan saya, tadi ... khilaf." Suara Om Arif terdengar tercekat-cekat.
Apa dia bilang, khilaf?
Aku duduk bersandar di dinding kamar mandi. Hawa dingin dari tembok itu langsung menjalari punggungku. Harusnya aku tidak begini, harusnya aku menolak, harusnya aku kabur saja tadi. Dan seharusnya aku cukup mengaguminya tanpa harus meletakkan rasa apa pun. Karena mencintainya malah membuatku terperosok ke dasar jurang yang mengerikan, dan membuatku berada pada situasi yang krusial. Natasha, kamu bodoh. Bodoh banget!
Namun, sebanyak apa pun kata seharusnya, keadaan tidak akan pernah kembali seperti semula. Aku sudah tidak berharga sekarang, aku sudah menjadi seburuk-buruknya seorang wanita yang telah melakukan zina.
"Aku enggak mau liat Om sekarang. Pergi dari sini!"
Aku membenamkan wajahku ke atas lutut, dan menangis sepuasnya. Entah dengan menangis perasaan caruk-maruk ini akan lenyap atau tidak.
Tiba-tiba di kepalaku terlintas bayangan Mama, Papa, serta Tante Lisda. Aku harus bagaimana terhadap mereka? Maafkan aku Tante ....
Aku telah menorehkan aib di wajah kalian. Karena nafsu sesaat ini, aku telah menjerumuskan kalian semua pada lembah dosa.
"Sha, saya mohon kamu jangan begini, ayo kita bicara." Om Arif kembali bersuara.
Aku mengangkat wajahku. "Plis, jangan sekarang, Om. Pergilah ...!"
"Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Saya pergi." Dia berucap sedih.
Terdengar derap langkah yang menjauh, semakin lama semakin pelan, lalu lenyap.
Aku tidak peduli sekarang dia akan pergi kemana tengah malam buta begini. Yang jelas malam ini aku benar-benar tidak mau melihatnya.
***
Sekitar sepuluh menit, setelah Om Arif pergi, hujan kembali mengguyur dengan lebatnya. Tanpa dipinta, hati ini diselimuti rasa cemas. Bagaimana kalau dia kehujanan, dia tidak bawa payung, dan apakah dia sudah mendapatkan kendaraan? Bagaimana kalau dia dibegal?
Berbagai pikiran negatif bergumul di otakku. Aku melihat jam di ponsel. Pukul setengah satu. Dengan berat, akhirnya aku meneleponnya untuk kembali. Bagaimanapun juga dia masih keluargaku, aku tidak mau terjadi hal buruk kepadanya.
Panggilan terputus karena Om Arif tidak mengangkatnya. Apakah dia sengaja tidak mengangkatnya? Aku semakin cemas. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi tetap sama, dia tidak mengangkatnya.
Berkali-kali aku menyibakkan gorden, berharap Om Arif masih ada di depan, tapi tidak ada. Aku mengigit bibir cemas.
Tidak boleh begini, aku tidak mau dirundung kecemasan akut seperti ini. Dengan keberanian tinggi aku membuka pintu, lalu memecah hujan mencari Om Arif ke depan gang, berharap dia masih di sana.
Ternyata harapanku benar. Dia masih di depan, duduk memeluk lutut di bawah gapura kecil. Mungkin dia berharap gapura itu bisa melindunginya dari hujan, tapi tidak sama sekali.
Dia mendongakkan kepala ketika aku telah berada di depannya. Dia menatapku dengan tatapan sendu seperti sudah menangis.
Melihatku berdiri di hadapannya, dia tersenyum. Senyuman yang seolah menemukan malaikat di tengah deritanya. Saat itu tatapannya sulit aku jelaskan, seperti ada ribuan perasaan yang begejolak di sana.
"Pulangnya subuh aja, Om."
Masih dengan wajah yang sendu, dia mengangguk pelan, bibirnya tersenyum, tapi aku lihat matanya berriak-riak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kami kembali ke kosan dengan baju yang basah.
***
Malam itu aku sukses tidak bisa memejamkan mata walau semenit. Dan sepertinya Om Arif juga, apalagi dia tidur dengan baju yang basah karena tidak membawa baju ganti. Pukul setengah lima pagi, setelah salat Subuh, Om Arif pamit pulang. Aku mengangguk.
"Sha, saya akan bercerai dengan Lisda. Kamu__tunggu saya datang kepadamu."
Aku tidak menjawab maupun menatapnya. Begitu mudahnya dia bilang begitu, tidak memikirkan bagaimana tanggapan Mama Papa, keluargaku yang lain, keluarganya, dan terutama Tante Lisda. Aku harus bicara apa sama mereka?
Dia bercerai dengan tanteku, lalu setelah itu dia menikahiku gitu? Apa kata orang? Dan__aku sungguh takut pada Tante Lisda. Aku takut menyakiti hatinya. Dia pasti akan sangat terluka. Walaupun sekarang sikap dia berubah, tapi kalau melihat kenyataan seperti ini, hatinya pasti akan sangat sakit.
Maafin aku, Tante. Maaf ....
Mendadak aku ingin berlari dan memeluk Tante Lisda.
Om Arif berdam. "Saya pulang, Sha. Jaga diri kamu baik-baik."
Aku mengangguk pelan.
Sebelum pergi, Om Arif meluncurkan senyum. Setelah mengetahui bahwa dia menyukaiku, dan terjadi hal menjijikan semalam, aku melihat tatapan itu serasa berbeda. Seperti benar-benar mencinta, mendamba, dan ada sebuah harapan besar di sana.
Om Arif meraih tas slempangnya lalu pergi. Kali ini benar-benar pergi. Dan aku hanya melihat punggung itu perlahan menjauh dan menghilang.
Setelah itu, tinggal aku sendiri bersama dengan kehampaan, kecemasan, dan ketakutan.
***
Aku mengingat suatu hadis yang berbunyi kurang lebih seperti ini, "Sesungguhnya Iblis singgasananya di atas laut. Dia mengutus pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, 'Saya telah melakukan godaan ini.'
Iblis berkomentar, 'Kamu belum melakukan apa-apa."
Lalu datang yang lain melapor, 'Saya menggoda seseorang sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah berpisah dengan istrinya.'
Kemudian Iblis mengajaknya duduk di dekatnya dan berkata, 'Sebaik-baik setan adalah kamu.' (HR. Muslim).Sebenarnya aku tidak setuju Om Arif dan Tante Lisda bercerai, tapi ... bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padaku karena kejadian semalam? Maksudku, bagaimana kalau aku hamil?
Aku menggeleng kuat-kuat.
Aku bahkan tidak mampu untuk membayangkannya. Sungguh tidak siap. Aku masih ingin bekerja, bekerja apa pun, walau itu bertolak belakang dengan background pendidikanku. Aku harus membalas budi dulu pada Mama Papa yang sudah susah-susah membiayai pendidikanku.
Setelah salat Subuh, aku memakan roti sisa kemarin, lalu akan memejamkan mata sejenak sebelum bersiap melakukan tes wawancara di salah satu perusahaan pukul sepuluh pagi.
Aku berharap setelah tidur nanti, mimpi buruk yang seperti hunusan pedang es ini lenyap.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
Ficción GeneralMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.