Part 7

3.2K 88 5
                                    

Semua hal yang terjadi di dunia ini telah diatur sedemikian rupa oleh Allah. Bahkan daun yang jatuh pun tak luput dari kehendak-Nya. Tak ada kebetulan di dunia ini. Kau percaya konsep itu? Aku percaya. Pun apa yang terjadi padaku sekarang. Aku percaya semuanya sudah jadi kehendak-Nya.

Tante Lisda menikah dengan Om Arif--mereka tinggal di rumahku--kenapa mereka tinggal di rumahku? Karena tente Lisda bilang, mereka mau ngebooking perumahan, tapi karena uangnya belum terkumpul semua, jadi terpaksa sementara tinggal di rumahku. Kalau ngontrak rumah, nanti uang buat booking perumahan tersebut tidak terkumpul, habis untuk bayar kontrakan saja.

Setiap hari aku bertemu Om Arif. Walaupun aku selalu berusaha terlihat wajar ketika di dekatnya, tapi nyatanya hati sulit menghindar dari rasa terlarang ini.

Senyuman itu telah mengundangku pada rasa yang tidak seharusnya. Senyuman yang menunda luka, dan luka itu telah aku rasakan sekarang.

Aku tahu hati ini harus menghindar, tapi kenyataannya aku tak bisa, maafkan aku terlanjur mencinta dan memperkeruh keadaan. Aku memang bodoh! Bagaimana kalau Tante Lisda tahu bahwa di perutku sekarang ada benih suaminya? Apakah dia akan membunuhku? Atau mungkin aku memang pantas "dibunuh?"

Aku meraih tespek yang tergeletak di dekat pintu kamar mandi lalu menggenggamnya erat. Siapa pun tak bolah ada yang tahu tentang ini, bahkan Om Arif pun jangan sampai tahu. Aku akan membereskan masalah ini sendiri.

Aku kembali menatap benda pipih panjang di telapak tanganku. Garisnya merah mudanya terlihat jelas ada dua. Aku wanita hamil sekarang. Aku wanita bodoh, wanita seburuk-buruknya wanita!

Perlahan ada sesuatu yang membuncah dalam dada sampai membakar isi kepalaku. Tiba-tiba sisi gelapku bangkit. Pikiran-pikiran dan rencana buruk berlomba mencuat dari otak. Aku mematahkan tespek itu lalu membuangnya ke selokan.

Anak ini tidak boleh hidup!

***

"Sasha ... kita beli nasi goreng, yuk." Laras berseru di luar katika aku akan tertidur. Masih pukul delapan, tapi aku ingin segera memejamkan mata, berharap kenyataan menyakitkan ini lenyap seperti debu tersapu angin.

Dengan malas aku kembali bangkit, memakai kerudung, lalu membuka pintu.

"Hai ... Sasha temenin aku beli nasgor, yuk, ke depan," kata Laras dengan senyum khasnya dengan terdapat dua lesung pipit di dagunya.

"Maaf, Ras, aku ngantuk, nih," elakku.

Aku melihat Laras mengernyit menatapku. "Sasha, kamu kenapa, kok pucat? Kamu sakit? Mata kamu juga bengkak. Abis nangis, ya?"

Inilah Laras, dia salah satu orang terpeka yang pernah aku kenal. Dia melepas sandalnya lalu menghampiriku.

"Ada apa, Sha?" tanya Laras, dan pertanyaan itu tidak langsung membuat aku sedikit takut. Entahlah ... sekarang ketakutanku sedikit berlebihan.

Laras meraih tanganku, kemudian tiba-tiba dia terenyak kaget. "Sha, kok kamu panas?" tanyanya khawatir.

Aku segera menarik tanganku. "Aku enggak apa-apa, Ras."

"Enggak apa-apa apanya, kamu demam ini!" Laras meletakan punggung tangannya di keningku, tapi lagi-lagi aku mengenyahkan tangan Laras.

"Sha, kamu sakit ini. Mau ke dokter?"

Mataku langsung terbelalak mendengar kata dokter, seolah nama itu menjadi nama yang mengerikan buatku mulai sekarang.

Aku menggeleng. "Enggak, aku enggak apa-apa kok, mungkin karena kecapean aja. Sori, Ras, aku mau istirahat sekarang."

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang