Part 20 (end)

3.5K 70 4
                                    

Pov Arif Mikaila Syahputra

Sosok itu terbaring dengan jarum infus tertancap di punggung tangan. Matanya terpejam, tapi aku tahu dia tak tidur. Dia adalah salah satu manusia yang sulit tidur di tempat asing, apalagi di rumah sakit seperti ini.
Segugus wajah aku pandang dari kejauhan dengan perasaan kacau balau. Aku ingin melihatnya bahagia, tapi sekarang aku malah menorehkan luka yang teramat di hatinya. Maafin aku, Bu.

Perlahan aku menggeser pintu ruangan lalu masuk. Ibu membuka mata, menoleh, dia berusaha tersenyum dengan kesakitannya.

"Udah pulang kamu, Rif?" ucapnya dengan suara pelan dan serak. Aku mengangguk. Demi Allah, saat melihat senyuman itu hatiku seperti tertusuk-tusuk jarum berkarat. Sakit banget.

Wanita ini adalah wanita yang paling aku sayangi di dunia. Tak ada tanding. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara akulah yang paling disayanginya. Kakak pertamaku--Mas Hadi--sudah berpulang beberapa tahun lalu karena sakit paru-paru, dia meninggalkan istri dan dua anak perempuan. Mbak Hasti kakak keduaku pun sama punya anak dua, laki-laki dan perempuan.

Mbak Hasti memiliki keluarga yang harmonis, siapa pun pasti iri terhadapnya. Suaminya seorang guru SMA dan sangat family man. Kondisi keuangannya pun stabil, karena dia membuka toko plus BRI Link di rumahnya. Mbak Hasti beruntung bisa mendapatkan suami baik seperti Mas Herman.

Aku pun sangat dekat dengan kakak iparku itu. Sejak Mas Hadi pergi, dialah pengganti yang bisa aku andalkan. Namun, entah sekarang setelah dia tahu masalah ini, apakah akan menjauh dan membenci juga seperti Mbak Hasti? Aku harap tidak.

Aku duduk di samping Ibu, meraih tangannya yang mulai keriput, lalu menciumnya seperti biasa.

"Jam berapa dari Jakarta, Rif?"

"Sore, Bu, sebelum Magrib."

"Udah makan?"

Aku menunduk. Aku ingat belum makan apa pun dari pagi, aku kehausan dari siang dan baru minum tadi di kereta. Lapar dan perih lambungku tak kuhiraukan, bahkan aku merasa bobot tubuh ini sedikit demi sedikit telah menyusut. Masalah ini telah menyedot seluruh sari pati tubuhku dan seperti meledakkan isi kepala.

"Kamu belum makan?" Ibu bertanya lagi. Aku menggeleng. "Sudah, Bu, tadi sore sebelum berangkat." Aku tak perlu jujur agar tak menambahi kesedihannya.

"Wajahmu kok semakin tirus aja, Rif, kamu kurang istirahat, ya?" Aku tersenyum mencoba meredakan semua kekhawatiran Ibu. "Enggak, kok, Bu."

"Ingat jaga kesehatanmu, Rif." Aku terenyak. Hanya seorang ibu yang bisa begini. Dia mengkhawatirkan kesehatan anaknya, disaat dia sendiri sedang sakit.

"Iya, Bu."

"Kamu pasti capek, istirahatlah," kata Ibu, tersenyum, lalu memejamkan matanya.

Hening. Aku tak bersuara ataupun merubah posisi. Yang aku lakukan hanya memandang Ibu dengan perasaan campur aduk. Harusnya Ibu enggak bersikap seperti ini, kan? Harusnya dia memakiku, memukulku, menyumpahiku, atau apa pun itu seperti yang Mbak Hasti lakukan tadi. Setidaknya hal itu dapat membuatku lega. Jika seperti ini, aku malah semakin merasa bersalah.

Ibu ... aku harus bagaimana? Aku merundukkan kepala ke sisi ranjang. Maafin aku, Bu, maafin aku ....

Mataku kembali menghangat, air mata sialan ini bersiap keluar lagi, tapi aku tahan sekuat tenaga, aku tak boleh nangis di depan Ibu. Aku melirik jam tangan, sudah pukul sebelas, Ibu pun tampaknya sudah tertidur. Aku beranjak dari kursi keluar ruangan menuju taman sederhana rumah sakit tersebut.

Aku duduk di bangku dari semen, memandang langit. Aku ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi bunga yang disebarkan oleh bunga-bunga di taman itu, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dan dengan detik jam tanganku.

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang