Part 6

3.9K 97 1
                                        

"Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. Sekalipun sama dan nyaman di tengah impitan sesamamu, tak ada yang tahu jika kau melayang dan hilang.

Jadilah salju abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika menerpamu, dan oase akan jengah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.

Setiap butiran pasir tersebut akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka. Kau putih meski sendiri. Karena kau berbeda."

Itu adalah prosa dari sebuah buku yang aku baca karya Dee Lestari berjudul Salju gurun yang dia tulis tahun 1998. Tahun dimana aku dilahirkan ke dunia, dan sekarang prosa itu seperti berlaku padaku di sini. Di Senopati Production.

Aku Natasha Silvana, insan yang Tuhan cipta dengan segala seninya. Dengan segenap kemampuan-Nya, Dia telah membentukku menjadi Sasha yang sekarang. Tak ada alasan untuk tidak bersyukur pada-Nya.

Aku berbeda sendiri di sini, lalu apa yang aku risaukan? Tak ada yang mempermasalahkan busanaku, aku istimewa dengan kerudungku ini, aku akan mencuat sendiri karena aku berbeda.

Berbeda namun menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Dan aku ingin Laras sepertiku juga. Semoga suatu saat itu bisa terwujud.

"Sasha ...." Nindi melongokkan kepalanya di balik partisiku.

"Iya," kataku.

"Siap-siap jam 10 kita meeting bareng Bos."

"Oke, siap."

Dan inilah meeting pertamaku. Aku tidak sabar, seperti apa orang-orang hebat ini dalam menggodok ide-ide.

Ekor mataku menangkap si copy writer senior di timku. Ezar. Benar apa kata Nindi, dia agak menyebalkan. Gayanya yang sok cuek dan sombong benar-benar menyebalkan. Dia tetap dipertahankan di sini, tidak lain karena sudah beberapa kali menciptakan ide yang out of the box untuk klien-klien kelas kakap Senopati. Dan sampai sekarang klien tersebut langganan memakai jasa kantor kami.

Bos tidak akan marah walaupun katanya Ezar masuk siang, atau bolos seenak jidatnya. Kata Mas Aldi, Ezar salah satu aset penting di sini. Baiklah, mulai hari ini aku akan memerhatikan laki-laki itu dalam bekerja.

Diam-diam aku melirik laki-laki yang tengah serius di depan komputer itu. Sweeter abu-abunya masih sama dengan kemarin, tudungnya dia pakaikan ke kepala. Aneh, apa dia kedinginan di kantor ini? Pantas saja Nindi kurang akur dengannya. Nindi yang bar-bar dan ceplas-ceplos, harus berhadapan dengan Ezar yang dingin dan jarang bicara. Mereka sangat bertolak belakang, sedangkan aku harus berdiri di tengah-tengahnya.

Aku langsung menunduk saat tiba-tiba orang yang aku perhatikan itu melemparkan pandangannya padaku. Tatapannya sangat menakutkan. Penuh misteri.

***

Siang ini rapat internal masih berlangsung alot. Membahas tentang konsep produk unggulan sepatu baru Vreeshet Shoes yang akan kampanye besar-besaran. Bos Seno belum tertarik dengan ide-ide yang dicetuskan oleh Mas Aldi, atau Mbak Sisy, copy writer dari tim lain.

Mbak Sisy terus berusaha keras meyakinkan Bos Seno atas usulan konsepnya. "Tapi teks ini catchy banget, Bos. Memang banyak yang terpaksa dipersingkat supaya ada ruang buat visual. Tapi tujuan pesannya cukup jelas."

Bos Seno tampak berpikir. Katanya iklan kali ini tidak boleh main-main, jangan terlalu biasa juga, karena produk yang akan kami iklankan adalah produk yang dihendel oleh istrinya.

"Iya, sih, tapi ... kenapa, ya? Gue kok ngerasa belum kena, aja. Terlalu biasa. Udah banyak banget iklan produk sejenis yang pake angle sama. Sori, gue gak mau pake konsep lo, Sy."

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang