Aku berusaha merebut ponselku dari tangan Nindi, tapi dia menghindar, lantas mengangkat telepon dari Om Arif."Halo," sapa Nindi. Aku terus berusaha meraih ponselku dari tangan Nindi, tapi tanganku malah dipegang erat olehnya.
"...."
"Gue temennya Sasha."
"...."
"Ada. Gue mau ngomong sama lo! Dengerin gue, sekarang juga lo dateng ke kafe SunHan, cari di google map, gue tunggu! Sekalian jemput Sasha ke sini."
"...."
"Oke, gue tunggu!" Nindi menutup telepon. Selama pembicaraan itu berlangsung aku menahan napas, tegang, takut Nindi bilang saat itu juga kalau aku hamil. Demi Tuhan, aku enggak mau Om Arif tahu!
"Kamu keterlaluan banget, sih!" kataku sambil merebut ponselku dari genggaman Nindi.
"Keterlaluan? Sasha, aku cuma mau bantu kamu! Jadi selamanya kamu mau nyembunyiin kehamilan itu dari Om kamu, gitu? Terus kamu nanti mau bunuh anak itu? Jujur, aku baru nemu cewek begonya kebangetan kek kamu gini. Kenapa? Enggak enak sama Tante kamu? Sasha, yang seharusnya kamu pikirin itu diri kamu sendiri! Gemes gue sama lo lama-lama." Nindi meraih cangkir kopinya lalu meminumnya.
"Aku cuma takut, Nin." Aku terisak lagi.
"Udah, jangan mewek lagi! Mulai sekarang aku mau latih kamu jadi cewek kuat, bukan bisanya cuma nangis doang! Aku benci cewek lemah!"
Aku agak kaget mendengar ucapan gadis tomboy di depanku ini. Entah apa yang melatarbelakangi dia mempunyai karakter seperti itu, tapi aku yakin itu didasari oleh masa lalu.
Aku menunduk sambil berusaha menahan tangis. "Sebaiknya kita makan dulu sekarang."
***
Selang setengah jam aku melihat Om Arif datang. Ternyata dia bisa menemukan tempat kami. Dia datang bersama temannya naik motor, tapi setelah itu temannya pergi dengan motornya. Om Arif celingak-celinguk di luar lalu mengeluarkan ponsel, tak berapa lama ponselku berdering. Kali ini aku yang mengangkat teleponnya.
"Assalamualaikum ...."
"Walaikumsalam," jawab Om Arif.
"Sasha, saya udah di depan kafe yang disebut temanmu itu."
"Om masuk aja. Aku di sebelah kiri dari pintu masuk."
"Baiklah." Om Arif memutuskan sambungan telepon. Tak lama kemudian Om Arif masuk lalu melihat kami. Siang itu aku melihat dia sedikit berbeda, ternyata dia sudah potong rambut. Tidak dipungkiri itu membuatnya semakin tampan. Aku lihat Nindi juga seperti kagum melihat sosok yang sekarang berdiri di tengah-tengah kami.
"Halo," sapa Om Arif.
"Halo," balas Nindi. Siang menjelang sore, kafe itu mendadak ramai oleh pengunjung. Karena aku dan Nindi duduk di meja yang khusus untuk dua orang, Om Arif menyeret kursi yang tak jauh dari meja kami, lalu duduk.
Om Arif menatap mataku, sorotnya masih sama: penuh cinta. Aku bisa merasakan itu dengan jelas. Aku menunduk tidak mau meihat itu terlalu lama. Dan aku yakin semua itu tak lepas sedikit pun dari pengamatan Nindi.
Nindi berdeham. Sepertinya dia berusaha mencairkan suasana. "Jadi gini, maksud gue manggil lo ke sini adalah ... mau ngasih tau lo sesuatu."
Aku langsung mendongak kaget. Nindi benar-benar akan memberitahunya. Dadaku berdebar tidak keruan, sepertinya dia memang tidak main-main. Om Arif merubah posisi duduknya dan menatap Nindi dengan serius.
"Om, mau pesan minum?" Aku menyela. Om Arif menoleh padaku lalu menggeleng.
"Sasha hamil." Nindi berkata lugas tanpa aling-aling. Aku dan Om Arif menoleh bersamaan padanya. Jangan ditanya saat itu aku syoknya kayak apa. Nindi beneran gilanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
General FictionMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.