Karena semalam aku tidak kunjung bisa tidur, pukul setengah enam pagi baru bangun. Dan ini adalah rekor bangun tersiangku.
Cepat-cepat aku ke kamar mandi, buang air kecil, wudhu, lalu salat Subuh. Hari ini hari pertama kerja, track record-ku tidak boleh jelek di hari pertama ini.
Waktu terus merambat, matahari lamat-lamat berada di horizon, cahaya kemerahannya membuatku terpesona, melewati genteng-genteng rumah tetangga, kemudian menyusup masuk lewat jendela kaca kamar kosku.
Alhamdulillah, aku masih bisa menghirup udara pagi, sebuah nikmat dari Tuhan yang tak terkira. Aku mematut diri di depan cermin. Mudah-mudahan perusahaan tersebut tidak mempermasalahkan pakaianku yang tertutup seperti ini.
Gamis pink nude, dan kerudung segi empat dengan warna senada menjadi pilihanku. Sepatu Converse putih aku pilih menjadi pelengkap style-ku hari ini.
"Sasha ...." Terdengar suara Laras dari luar memanggil. Aku melongokkan kepala ke jendela.
Terlihat gadis hitam manis itu sudah bersiap untuk berangkat. Katanya hari ini dia akan wawancara di salah satu perusahaan tranding. Kemeja putih dan span hitam menjadi busana wajibnya untuk tes wawancara hari ini.
Aku membuka pintu. "Kamu udah mau berangkat, Ras?"
"Iya, nih. Yuk bareng, kita searah, kan?"
"Bentar-bentar, aku mau pake sepatu dulu." Aku kembali masuk dan memakai sepatu yang sudah aku siapkan. Setelah itu ke belakang sebentar meminum sereal yang sudah mulai agak dingin.
"Yuk."
"Yuk. Udah setengah tujuh, nih, aku takut keburu macet," ucap Laras.
"Emangnya wawancaranya jam berapa?"
"Jam sembilan, sih."
"InshaAllah keburu."
Laras mengangguk. Kami berjalan berdua ke depan gang, menunggu angkot, setelah angkot yang ditunggu datang, kami langsung naik, kemudian turun di koridor dua Trans Jakarta. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan Busway. Aku turun di K2 12 Senen, sedangkan Laras masih terus sampai ke K2 16 Gambir 1.
Setelah sampai di Senopati Production, ternyata kantor tersebut masih nampak lengang. Cuma ada seorang satpam yang berjaga di pintu masuk. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul delapan pagi padahal. Apa aku datang kepagian?
Aku pun duduk di tembok dekat parkiran menunggu beberapa orang datang. Tak lama kemudian, ada sebuah sepeda motor metik parkir tidak jauh dari tempatku duduk. Dia membuka helm lalu turun dari motor.
Dia kan salah satu yang mewawancaraiku kemarin. Aku segera berdiri untuk menyapanya.
Nampaknya dia agak terkejut dengan kehadiranku di situ.
"Selamat pagi," sapaku setelah dia berada di depanku. Dia menghentikan langkahnya yang agak terburu-buru, menatapku dari atas sampai bawah dengan kening berkerut. Mungkin dia tidak ingat siapa aku.
Namun, tak lama mimik mukanya berubah seperti telah mengingatku. "Ah, kamu copy writer baru, ya?" tanyanya.
"Iya betul," jawabku sambil menganggukkan kepala.
"Kamu ngapain di sini? Ayo masuk."
"Iya, Pak."
"Hei, jangan panggil Pak. Tua banget kesannya, panggil aja Kak Aldi, Mas Aldi, atau Bang Aldi. Terserah kamu."
"Maaf. Baiklah, saya panggil Mas Aldi aja."
"Oke," katanya, lalu masuk ke dalam mendahuluiku. Sepertinya dia sangat buru-buru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
General FictionMencintai dalam diam memang tidak enak, tapi semuanya akan baik-baik saja jika aku melabuhkannya pada hati yang tepat.