Part 14

1.6K 67 2
                                    

Sesampainya di kosan, aku merebahkan tubuhku yang lelah ke atas kasur, menatap langit-langit dan memikirkan banyak hal. Rasanya aku terhanyut jauh pada dunia yang tak kukenal. Berdiri asing sendiri. Setelah menerima pinangan Om Arif, tak dipungkiri ada rasa senang dan lega, tapi di sisi lain, seperti ada sebongkah ketakutan dan kekhawatiran.

Namun, Nindi dan Ezar mengatakan hal yang sama padaku. Aku dan Om Arif mau tidak mau harus bertanggung jawab. Kami tidak boleh egois dan dzolim pada makhluk lemah yang tengah aku kandung ini. Dia bahkan tidak tahu apa-apa. 'Gue gak mau lo terjerumus lebih dalam ke lembah dosa.' Itu yang Ezar tulis. Aku merasa hina dan malu membaca tulisannya.

Lamat-lamat sinar matahari mulai menjingga. Waktu Asar sudah lewat, sekarang azan Magrib tak lama lagi akan berkumandang. Sepulang dari cafe aku diantar Om Arif pulang, setelah itu aku tidak tahu dia akan kemana. Tadi di perjalanan dia bilang, "Sha, bisnis kaus distro saya udah mulai jalan sama temen. Sementara kami menjualnya lewat online. Doakan agar semuanya lancar."

Aku tidak tahu seberapa dalam luka yang ditorehkan Tante Lisda hingga dia mengambil jalan ekstrim resign dari pekerjaanya sebagai Chief of Store, lalu banting stir merintis usaha dari nol. Dia tidak peduli dengan risiko-risiko, yang dia tahu hanya ingin melenyapkan apa pun yang mengingatkannya pada Tante Lisda. Itu yang dia bilang padaku tempo hari. Apa pun itu, aku akan selalu mendukungnya selama yang dia kerjakan baik dan halal.

Aku melirik beberapa botol minuman soda yang tadi pagi aku beli. Melihatnya aku meringis sendiri, di mana akalku ketika meraih minuman-minuman itu? Aku bangun, mengambil minuman tersebut lalu memberikannya pada Laras.

"Sha, serius ini buat aku?" tanya gadis berkulit putih itu. Aku mengangguk. "Heem. Anggap aja ini bayaran sotoku tadi pagi," kataku ngasal. Laras tergelak. "Ya ampun Sasha, aku ikhlas lillahitaala kok, kamu sampe bela-belain beli tiga botol Sprite ini buat aku."

Aku terkekeh. "Gak apa-apa, diterima ya, Ras."
"Ini kebanyakan, tauk! Aku bisa mabok kalau minum semuanya sendirian," kata Laras lalu tertawa.

"Kasih sama Kaila satu. Mmm, sebenarnya ini juga dikasih orang, aku gak begitu suka minuman itu," kataku bohong.

"Ish, kirain kamu beli sendiri buat bayar soto, tapi gak apa-apa thanks ya, Sha."

"Sama-sama, Ras. Ngomong-ngomong sekarang malam minggu, kamu enggak keluar?"

"Enggak. Aku kan jomlo. Jomlo fisabilillah." Laras terkekeh.

"Bisa aja kamu, hehe."

"Aku tuh pengennya enggak pacaran, Sha. Udah mumet kalau ngomongin pacaran, lagian dosa juga, kan? Aku tuh pengennya tiba-tiba ada yang ngelamar gitu, hehehe."

"Ta'aruf?"

"Binggo!" Laras menjentikkan jarinya. "Sweet aja gitu kesannya. Nanti kita pacarannya pas udah nikah, bebas mau ngapa-ngapain juga, pahalanya dapet, dan jauh dari zina, ya, gak?"

Perkataan Laras berhasil menyentil hatiku, dan lagi-lagi aku merasa hina. Aku yakin Laras melihat air mukaku tiba-tiba berubah sedih, dan sekarang di benaknya pasti tengah bertanya-tanya.

Allahuakbar ... Allahuakbar ....

Suara azan Magrib berkumandang dari musala. Aku mengerjap. "Udah Magrib, nih, aku ke dalam dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban Laras, aku melangkah masuk dan menutup pintu, mematung di baliknya dengan perasaan ... entah. Yang pasti semua ini seperti telah memerosokanku pada sebuah lubang nista, dan aku tergugu sendirian di dalamnya dengan segudang rasa berdosa, hina, dan rendah diri. Tak ada rasa percaya diri yang tersisa, semuanya lenyap. Gelap. Hitam.

***

Pagi hari adalah waktu yang sangat berat untukku. Mual, kepala berputar-putar, lemas dan kadang muntah-muntah. Delapan puluh persen wanita hamil pasti mengalami yang namanya morning sickness kurang lebih selama 12 minggu. Rupanya aku termasuk dalam yang depalan puluh persen itu. Sangat tersiksa. Aku benar-benar seperti orang sakit setiap hari.

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang