Ch. 20

133 26 1
                                    

Distrik utama bersiap menyambut hari ulang tahun putri mahkota, Sejeong. Istana justru terlihat lebih megah dengan hiasan dengan lampu yang memerangi tiap jalan dan lorong penghubung.

Umumnya rakyat hidup modern di berbagai distrik, namun hal itu tidak begitu berlaku di distrik utama dimana keluarga kerajaan masih menggunakan kereta kuda sebagai transportasi. Sebenarnya kerajaan memiliki mobil sendiri yang tidak disebutkan jumlahnya, hanya saja budaya hidup kerajaan lebih menjunjung kebiasaan lama.

Beberapa petinggi lainnya sedang sibuk dalam sebuah ruangan tertutup. Kedua tokoh penting bertemu dengan masing-masing menyesap teh hijau yang disajikan langsung pagi ini.

"Sangat aneh, mengapa kita tidak boleh melenyapkan seorang dengan darah kerajaan secara permanen? Maksudku, ini aneh jika dari awal tujuan kita menyingkirkannya mengapa tidak kita lakukan sejak awal?" Perdana Menteri Kim merasa janggal dan tidak mau menyembunyikan lagi rasa yang mengganggu pikirannya.

Beberapa saat dilalui dengan senyap, Panglima Do tersenyum licik mengetahui situasi ini.

"Aku tidak tau kalau seseorang sepertimu bisa punya pemikiran sempit, Perdana Menteri Kim. Sejak awal kita telah bersumpah di depan leluhur kerajaan terdahulu kalau kita tidak akan pernah menghabisi darah kerajaan terlepas dari apapun masalahnya." Panglima Do terlihat puas setelah dengan santai menghina Perdana Menteri Kim.

Perdana Menteri awalnya terlihat geram tapi kemudian tersenyum, "Seperti biasa analisismu luar biasa Panglima Do, tapi aku menyayangkan fakta bahwa ternyata kartu terakhirmu ada padaku."

Raut wajah Panglima berubah, ia menatap tajam seolah penasaran dan ingin segera membongkar apa yang sebenarnya Perdana Menteri Kim maksudkan.

"Tidak perlu penasaran, kau harusnya sangat sibuk. Tidak heran jika kau kurang memiliki waktu untuk berbicara dengan putramu..." Kata Perdana Menteri Kim santai, kemudian ia menaruh cangkir di meja lalu beranjak.

Sedangkan Panglima Do tampak geram dan melempar cangkir indah itu hingga menjadi pecahan yang berserakan dilantai. Ia kemudian memanggil pelayan untuk membersihkannya, ia mengusap dagunya dengan lembut.

"Doyoung....jadi kau sudah berani bermain tanpa sepengetahuan ayahmu ini," Ujarnya dengan tatapan penuh kemarahan.

~o0o~

"Sejeong!"

Suara itu kemudian semakin samar dan menghilang, Sejeong membuka matanya dengan lemah. Pipinya mendadak basah karena air mata yang ia tidak tau penyebabnya.

Kemudian ia bangun bersandar lalu mengusap air matanya, "Jaehyun..."

"Kau masih saja menyebut nama itu bahkan ini adalah yang ketiga kalinya," Sebuah suara mengagetkan Sejeong, hingga ia menyadari bahwa dirinya sedang di istana bak seorang tahanan.

"Doyoung, memangnya siapa kau berani mengurungku disini, ayahku akan--"

"Berteriaklah, menangislah, saat itu kau akan tau kalau ayahmu tidak pernah mempedulikanmu. Kau pikir bagaimana caranya aku bisa mendapat akses penuh untuk berada di kamarmu? Aku yakin kau bukan wanita bodoh yang tidak menyadarinya, bahwa ayahmu tidak pernah menyayangimu." Ucapan Doyoung seketika membuat Sejeong kesulitan untuk percaya.

Mengetahui Sejeong tak menjawab, ia kembali melanjutkan. "Satu-satunya alasan kenapa ia membesarkanmu adalah karena status keluarga bangsawan ibumu yang dimanfaatkan ayahmu untuk bisnis keluarga kerajaan,"

Sweet Requiem Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang