09

962 97 3
                                    

Terik matahari siang ini begitu menyengat tubuh, dahaga menyerang kerongkongan pemuda yang terasa kering, keringat berlomba turun membasahi seluruh tubuhnya hingga kemeja putih yang ia kenakan terlihat basah dan transparan.

Salah satu tangannya menyeka peluh yang menetesi kening, tatapan matanya beralih menatap berlembar amplop cokelat besar yang ia genggam di tangan yang lain. Satu nafas panjang ia hembuskan untuk menetralkan perasaannya yang gundah. Kembali berjalan semangat hingga satu toserba dihadapannya membuat bibirnya melengkung indah. Sebuah kertas putih dengan tulisan rapi tertempel dengan jelas. Ada harapan untuk memberikan salah satu amplopnya kesana.

"Semoga ini jalan rezekiku, Tuhan." Doanya menatap langit siang.

Ia langkahkan kakinya penuh semangat, sebelum membuka pintu kaca itu, tangannya merapikan anak-anak rambut yang berantakan. Tak lupa kemeja yang sempat keluar dari celana hitamnya ia masukkan kembali hingga menjadi rapi. Memanjatkan doa sejenak lalu mulai membuka pintu.

"Selamat siang... Apakah benar disini sedang membutuhkan karyawan?" Tanyanya pertama kali pada salah satu karyawan toserba yang tengah merapikan barang dagangan. Karyawan lelaki itu menoleh, menghentikan aktivitasnya lalu berdiri menghadap Jungkook.

"Ne, apakah kau ingin melamar?" Jungkook mengangguk mengiyakan. Karyawan tersebut meminta Jungkook untuk menemui pemilik toserba, ia menggiringnya ke lantai dua dimana kantor bosnya ada disana.

Tak kunjung lama, Jungkook kembali turun lalu keluar dari toko. Raut wajahnya sedikit bersedih, pasalnya yang dibutuhkan di toko ini adalah perempuan, beberapa pencari kerja lelaki sudah banyak yang melamar sehingga Jungkook tidak memiliki kesempatan. Dengan tetap optimis, Jungkook mencari lagi tempat yang bisa memberikannya pekerjaan.

Kaki yang semakin lemas, tubuh yang semakin lesu, ia tak kunjung mendapat tempat untuk memanfaatkan ijazahnya.

"Huft... Memang benar apa kata orang-orang, mencari kerja di zaman sekarang sangat susah." Gumamnya sendiri. Ia sudah berusaha untuk ikut dengan pamannya, walau bekerja di bidang pertukangan ia tak masalah asal bisa memenuhi kehidupan dirinya. Tapi Namjoon jelas tak mengizinkan hal itu. Pekerjaannya sungguh kasar dan berat, tidak mungkin ia tega membagi rasa penatnya pada keponakan.

Sedang beristirahat dibawah pohon beringin yang rindang, sembari meminum air mineral yang ia beli dari seorang pedagang asongan, bahu penuh keringat itu ditepuk pelan dari samping. Jungkook melepas pagutan bibirnya pada mulut botol, mencari tahu siapa yang sudah menepuk bahunya.

"Tuan?" Panggil Jungkook tersenyum binar. Seseorang yang ada disampingnya bukanlah orang asing. Ia pernah bertemu dengannya beberapa kali.

"Oh, sedang apa kau disini? Akhir-akhir ini aku tidak pernah melihatmu mengantar pesanan. Kau masih bekerja disana, kan?" Tanya tuan berbadan tinggi berusia sekitar empat puluhan yang ternyata pelanggan setia kedai di tempat Jungkook bekerja dulu. Tuan itu memposisikan duduk disamping Jungkook untuk lebih dekat bertanya. Tatapannya tertuju pada amplop cokelat yang duduk diseberang tubuh bocah itu.

"Sudah satu bulan ini aku tidak bekerja disana lagi. Dan sekarang aku sedang mencari pekerjaan. Apa di tempat tuan membutuhkan seorang karyawan?" Jawab Jungkook sopan. Berharap tuan pemilik usaha konveksi pakaian itu mau memberinya pekerjaan. Teringat dulu ia sering membawa pesanan tuan Park kerumah untuk para karyawannya.

Tuan Park itu menggigit bibirnya, ia pun tengah kesulitan dalam pemasaran produk kemejanya. Bahkan dua hari yang lalu ia sudah mengeluarkan dua karyawan untuk menutupi kerugian yang terjadi karena menurunnya penjualan.

"Bagaimana ya? Usahaku juga sedang mengalami penurunan. Aku bahkan mengurangi jumlah karyawan." Ucapnya yang tentu membuat harapan di hati Jungkook meredup.

My Eyes is Yours 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang