bab : 5 - perihal waktu

8K 1.2K 84
                                    

Porsche milik Claire baru saja melewati gerbang. Menabrak genangan sisa hujan. Meluncur ke jalanan. Semenit kemudian Mercedes Jo menyusul. Mengejar derum mobil si rambut pirang. Sementara Nadine berdiri di trotoar sambil celingukan. Sama sekali belum melihat tanda kakaknya akan datang menjemput.

"Nunggu siapa?"

Nadine terhenyak. Tidak mendengar gemuruh suara motor. Tahu-tahu Shaka berhenti di dekatnya. "Kakak gue."

"Oh." Alih-alih meluncur ke jalanan, Shaka mematikan mesin. Menumpu siku di tangki motor. Menemaninya.

"Lo nggak balik?" Mata bulat Nadine mengerjap. Penasaran kenapa cowok itu memilih duduk disana daripada segera pulang.

"Dan ninggalin lo sendirian disini?" Alis kirinya terangkat sinis.

"Ya, iya. Mau gimana lagi?"

"Gue temenin sampai kakak lo dateng." Shaka turun, menyeret lengan si gadis ke kursi halte, serta merta duduk bersebelahan.

Nadine sempat mematung sekian detik. "Nggak, jangan!" cegahnya. "Maksud gue, lo pulang aja. Gue udah biasa nunggu. Nggak bakal terjadi apa-apa. Lo tenang aja. Oke?"

Iris mata Shaka bergerak menelisik. Lantas mendecih pelan. "Lo mimisan tadi. Gimana kalau lo tiba-tiba pingsan di sini?"

"Whatever!" Kepalanya menggeleng. Membuat helai coklat diikat ekor kuda itu mengayun. "Lo harus pergi."

Kening Shaka mengkerut.

"Buruan!"

"Lo ngusir gue?" Shaka bertanya heran.

"Iya. Pergi sana! Hus, hus!" Nadine mengibaskan tangannya. Mendorong lengan si cowok agar segera beranjak.

"Nggak mau." Shaka enggan bergeming.

"Ayolah!" Nadine menyatukan kedua tangan, memohon penuh, dengan kaki bergerak-gerak gelisah.

"Lagian kenapa, sih?" Spekulasi asal tercetus di otaknya. "Kakak lo anak punk?"

"Hah?" Kemudian tertawa garing sebagai alibi. Sungguh kentara dibuat-buat. Bahkan Nadine sendiri tidak tahu apa yang lucu dari tembakan asal itu. "Iya, haha! Lo pasti kaget soalnya dia jarang mandi. Badannya bau banget! Bau oli mesin! Haha!"

Shaka tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Merubah tawa garing itu menjadi senyuman canggung. Disambung deheman singkat dari Nadine.

"Gue serius, Ka." Nadine memegang kedua lengan si cowok. Bersikeras meyakinkan. "Kakak gue ini aneh!"

"Nadine."

Suara berat lain menginterupsi. Gadis itu menengok ke belakang tubuh Shaka. Di mana kakaknya datang.

Shaka hendak menoleh. Kalau saja kedua tangan Nadine tidak menahan pipinya.

"Jangan lihat ke belakang!" bisiknya. "Nanti lo ilfill."

Tapi senyum cowok itu berkata lain. Shaka menurunkan tangan Nadine dari pipinya. Kemudian memutar tubuh. Membawa netranya bertemu tatap dengan seorang laki-laki berkaos putih dan luaran kemeja kanvas. Rambut comma kecoklatan yang disisir rapi. Jauh dari kata 'aneh' seperti yang Nadine katakan.

"Hai, Kak," sapanya seraya mengumbar senyum.

Keenan tidak membalas. Tatapannya bergulir tajam pada gadis di samping Shaka. "Ayo pulang."

Nadine menunduk menggigit bibir. Kakinya melangkah lunglai menuju mobil sedan Keenan di pinggir jalan.

"Dia tadi sempet kolaps, Bang." Shaka menggiring langkah kakak beradik itu memasuki mobil. "Katanya kecapekan."

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang