bab : 6 - ruang tunggu

7.4K 1.2K 100
                                    

Sementara Shaka masih termenung. "Tapi kenapa foto ini bisa ada di kamar gue?"

"Tanya diri lo sendiri."

Kemudian Claire memutuskan untuk pergi. Membiarkan Shaka larut dalam kebingungannya.

___

"Lepasin gue!"

Suara serak putus asa itu menggema di halaman belakang fakultas kedokteran. Seseorang datang dengan hoodie yang menutup surai pirangnya. Mengayun langkah seraya menjentik abu rokok di sela kedua jemarinya.

Langit sudah gelap. Aksana diseret oleh empat orang yang tidak ia kenal. Kemudian mengikat tangan dan kakinya di kursi.

"Claire," sebutnya dengan suara yang hampir habis.

"Cukup." Gadis pirang itu membungkuk, mensejajakan wajah dengan dengan si cowok. Jejemari lentiknya mencengkram kedua pipi Aksana. Menancapkan kuku-kukunya panjangnya sampai berdarah. Sementara matanya berkaca-kaca. "Gue benci setiap kali lo sebut nama gue dengan mulut sialan lo itu."

"Claire, dengerin—"

"Gue bilang berhenti sebut nama gue!" Suara Claire melengking, menanjak beberapa oktaf. Menggebrak hening malam itu. Lagi pula siapa yang tidak meradang ketika ide-ide penelitiannya diplagiat?

Jujur, Claire kecewa. Susah payah ia melakukan riset ke pasien bronkitis dari sekian banyak rumah sakit untuk menempuh jurnal sinta sesuai permintaan papanya, seluruh isinya malah disalin tempel. Padahal jurnal itu sudah sangat siap dipublikasikan.

"Mentang-mentang kating, lo pikir bisa seenaknya nyuri jurnal gue?" Vokal gemetar Claire pecah di ujung. "Asal lo tahu gue nyaris diusir dari rumah karena ulah lo, bajingan!"

"Gue bener-bener kehabisan ide waktu itu. Sorry banget, Claire."

Tangannya mengayun ringan menampar keras pipi lelaki itu. Suaranya memantul di antara dinding-dinding. Bahkan sampai Aksana nyaris terjatuh. Padahal sejak tadi Claire sudah memperingatkan untuk tidak menyebut namanya.

___

Claire berhenti di langkah kedua. Jemarinya mengepal. Menoleh ke arah Shaka yang masih diam di tempat duduknya. "Cari gue kalau lo mengalami kesulitan."

Cowok itu bergumam. "Makasih."

Baru setelahnya Claire benar-benar pergi.

****

Lampu neon di ujung lorong itu berkedip-kedip ketika Jo melangkah mendekati perpustakaan. Merutuk kesal sebab ia harus kembali ke kampus untuk mengambil USB yang tertinggal. Jelas tidak ada siapapun disana. Angin malam mendesau dingin membuatnya merinding. Ditambah hening malam dan celebung air sisa hujan yang menetes dari atap mengenai pipa besi, nyali Jo serasa diuji. 

Pintu kaca itu berderit saat Jo menggesernya. Hanya ada cahaya dari luar yang menyorot masuk. Jo segera menyiasati kegelapan dengan mengambil ponsel dan menyalakan senter. Mengedarkannya ke segala arah demi sebuah benda yang sialnya berukuran kecil.

Dipikiran Jo tidak ada yang lebih penting ketimbang menemukan USB itu, segera pulang, dan kembali mengerjakan tugas yang tertunda. Seingat Jo, ia menaruhnya di dekat komputer. Tapi sekarang mejanya bersih. Padahal tadi ada berlembar-lembar kertas berserak.

Sekian menit mengacak-acak laci meja penjaga perpustakaan, Jo menemukan USB-nya disimpan bersama barang tertinggal milik mahasiswa lain. Cowok itu sebenarnya tidak ingin berlama-lama disana. Benda kecil itu dengan cepat dimasukkan ke saku kemeja dan gegas pergi.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang