bab : 17 - rubanah

5.9K 1.1K 77
                                    

Darah belum berhenti menetes sejak seorang polisi menggebuk pelipisnya dengan pentungan. Shaka merasakannya lagi. Perih berdenyut yang membuat kepala serasa berputar-putar dan mual, sebab anyir bercampur keringat dingin menyekat tarikan napasnya.

Mereka disekap di sel bawah tanah minim penerangan. Tanpa tahu apa sekarang masih siang, menjelang malam, atau bahkan sudah berganti hari. Tidak ada yang tahu berapa lama mereka tidak sadarkan diri. Apakah masih di tempat yang sama seperti terakhir kali mereka ditangkap atau dipindahkan ke suatu tempat yang jauh dari orang-orang. Tidak ada yang tahu.

Ini jelas bukan bagian dari rencana. Di ruangan sempit itu udara terasa lembab dan pengap. Shaka dipaksa berlutut pada tiga orang suruhan ini untuk disiksa habis-habisan. Sebenarnya dia bisa saja menghajar balik atau meludahi wajah mereka satu persatu. Kalau saja seutas tali tambang tidak mengikat kedua pergelangan tangan, membatasi gerak tubuhnya.

“Beraninya lo natap gue kaya gitu!” Laki-laki berkulit coklat gelap dengan tatto di sepanjang lengan kanan dan bekas codet melintang di pipinya itu memprotes tatapan tajam Shaka.

Si cowok sama sekali tidak gentar. “Bebasin temen-temen gue.”

Bisikan menuntut itu mengundang atensi tiga temannya yang sudah terduduk lemas di sudut ruang.

“Lo boleh habisi gue. Tapi bebasin mereka.” Karena Shaka merasa hidupnya tidak akan berarti lagi. Sang ayah, satu-satunya orang yang bisa dia andalkan selama ini ternyata berkomplot dengan bandar narkoba. Nama yang selalu dia banggakan, sekarang menjadi sumber kekecewaannya. Siapa yang tidak putus asa?

“Hei.” Si Codet mengangkat dagu cowok itu dengan pentungan. “Nyawa kalian berempat aja nggak cukup buat ganti rugi kekacauan di sini.”

Tepat tiga detik setelah si Codet menarik pentungannya, Shaka menoleh ke belakang. Menatap Jo yang kehabisan tenaga selepas berusaha memberi perlawanan pada para penjaga, pergelangan tangan Claire sudah berdarah karena gesekan tali tambang saat ia bersikeras membebaskan diri, sementara Nadine hanya sedikit bicara, tenggorokannya mungkin kering, suaranya sudah dihabiskan untuk berorasi.

Sadar mereka tidak bisa terus-terusan di sini, Shaka segera mencari alternatif. “Gue bayar dua kali lipat kalau lo bebasin kita dari sini.”

Si Codet langsung menertawainya. “Duit dari mana, tolol?! Lo aja disekap di sini!”

Sekali itu juga Claire melepas cincin dari jari tengah kiri, melemparkannya ke penjaga. “Titan by Pharrell Williams, dari Tiffany & Co. Gue beli 11,500 dollar. Kalau dirupiahkan sekitar 185 juta.”

Seluruh napas tercekat di waktu yang sama. Codet yang tadinya menertawakan Shaka pun ikut tertegun bersama penjaga lainnya. Dengan lidah kelu ia memastikan, “Bagaimana kita percaya kalau ini asli?”

Decakan kasar terdengar dari bibir merah muda si gadis pirang. “Bokap gue Arsenio Ditryas. Lo ngeremehin apa gimana?”

Para penjaga tampak berpikir keras sebelum memungutnya. Sampai pimpinan mereka —si Codet— memberi pernyataan. “Kita dibayar bukan buat ngerampok kalian.”

Lagi-lagi Claire mendengkus. “Siapa bilang ngerampok? Gue kasih itu sebagai bayaran kalau lo mau bebasin kita. Lagi pula uang yang mereka kasih juga nggak seberapa dari cincin itu, 'kan?”

Bagus. Claire sedang berusaha mendistraksi para penjaga. Iris mata hazel milik cewek pirang itu berkali-kali mengisyaratkan pada Shaka untuk mengambil pisau lipat dari saku celana si Codet.

Si penjaga terdiam lumayan lama. Menimbang apakah dia harus mengambil cincinnya dan ikut kabur bersama bocah-bocah ini atau tetap berjaga dengan bayaran yang tidak seberapa.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang