"Ada yang berusaha nyebarin rumor bullying lo di X."
Claire mematung ketika hendak memakai sabuk pengaman. "Kenapa nggak ada yang lewat di timeline gue?"
Cowok itu menarik simpul tipis di sudut bibirnya. "Lo login nggak?"
Seingatnya beberapa hari terakhir Claire tidak membuka aplikasi tersebut. Gegas ia mengambil ponsel di tasnya dan memeriksa. Benar saja, akunnya keluar. Claire coba masuk kembali dengan memasukkan email serta kata sandi. Namun usahanya gagal. "Password salah?"
"Baguslah," desahnya lega.
Claire melempar tatap pada Jo yang sibuk mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir. "Lo yang ubah kata sandinya?"
"Iya. Pinjem sebentar, ya?" ucapnya sambil tersenyum.
"Jo, lo—?!"
"Demi ketenangan lo, Claire." Kali ini si cowok menoleh. Matanya menatap teduh. "Lo di bully habis-habisan di sosmed. Bahkan ada yang bikin fake chat dan palsuin bukti bullying lo pakai AI."
"Orang-orang terlalu berisik." Pemilik helai pirang itu menghela pasrah. Menyandarkan kepala ke kursi. Serta merta memejamkan mata, mengambil rehat sejenak. "Mereka selalu ikut campur."
Jo terkekeh singkat mendengarnya. "Sementara X lo gue yang pegang, ya? Nanti gue balikin kalau keadaan udah membaik."
"Pegang aja."
Keadaan berubah hening dalam sesaat. Hanya ada suara mesin mobil Jo yang tenang.
Sampai Claire kembali membuka suara. "Semua orang nyalahin gue. Tapi kenapa lo ngelakuin ini?"
"Kenapa? Wajar kalau gue bantuin temen gue, 'kan?"
****
Langit abu-abu perlahan menjatuhkan gerimis lembut. Nadine memandang bagaimana rintik itu satu per satu jatuh ke tanah. Menguarkan bau khas yang membuat beban di kepalanya seketika terasa ringan.
"Gue pernah hampir mati di sungai tadi," ungkap Nadine setelah merasa tenang. Pandangannya kosong. Pikirannya serasa di awang-awang.
Sekujur tubuh Shaka meremang. Air memiliki sifat yang dinamis. Sementara sungai memiliki dasar yang sulit ditebak. Tidak seorang pun tahu sebesar apa batu yang menunggu, tidak seorang pun tahu sederas apa arus di bawah.
"Gimana ceritanya?"
Miris. Perihal pertanyaan tersebut. Nadine yakin cowok itu benar-benar melupakan setengah hidupnya.
"Kepleset."
Begitu saja. Shaka dapat menebak bagaimana akhirnya. "Tapi sekarang lo masih di sini."
"Hm." Si gadis mengangguk-angguk. "Berkat orang baik yang nolongin gue."
"Lo harus berterima kasih sama orang itu."
Serta merta pandangannya dialihkan. Pada sepasang iris coklat gelap di sampingnya. Sembari mengulum senyum tipis. "Sebenernya lebih baik mati daripada hidup kaya gini, Ka."
"Siapa yang ngebolehin lo ngomong kaya gitu?" Nada bicaranya datar mengintimidasi. Seolah dia yang paling bertanggung jawab atas hidup Nadine.
Mengundang dengusan pelan dari si gadis. "Semuanya terlintas ketika lo ngerasa putus asa."
Shaka mengerti itu. "Tapi mati bukan solusi."
Nadine menipiskan bibir. Kembali menunduk. Ganti menatap kakinya yang terayun. "Gue tahu."

KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAKA
Roman pour Adolescents[TERBIT] #1 winner - beteradiksi writing challenge Ancaman drop out tidak begitu berarti pada empat mahasiswa semester 6 kelewat berantakan ini. 1. Arshaka Nathaniel Alvarez - Teknik Kimia. Prestasinya kian merosot semenjak kecelakaan mobil yang dia...