bab : 8 - viva la vida

7.1K 1.2K 114
                                        

Lawan bicaranya terdiam sejenak. "Kalau emang iya, berarti kampus kita juga berada di bawah kekuasaan Majesty."

Kerutan bingung di kening Jo semakin jelas. Bibirnya menghembus napas kasar, menyandarkan punggung ke kursi, seraya terpejam. Merasa perlu mengistirahatkan otaknya. "Kacau!"

-

"Anda tahu di mana lokasi persis kantor Majesty atau siapa pimpinannya?" Kini Claire yang bertanya.

"Tidak ada yang tahu. Bahkan mereka tidak menghadiri lelang. []"

-

"Money laundering." Shaka menyimpulkan lagi. Kali ini analisisnya lebih cepat dari sebelumnya.

Seketika itu Jo menegakkan tubuh.

"Bisa jadi kampus kita adalah perantara pencucian uang yang Majesty lakukan."

Semuanya menahan napas. Termasuk Claire dan Nadine yang baru saja datang setelah dari kamar mandi.

"Pencucian uang?" Nadine mendekat dengan raut muka kebingungan.

"Ya," tegas Shaka. Kedengarannya mengerikan. "Dari data yang Jo temuin, Majesty berinvestasi banyak di sini. Dan kita curiga kalau pimpinan Majesty adalah seorang yang otoriter di Untara. Dari argumen itu, money laundering adalah kesimpulan paling masuk akal yang kita temuin."

"Apa itu juga alasan Majesty nggak menghadiri lelang?" tanya si helai pirang.

"Bisa jadi."

"Nggak. Kita nggak bisa langsung menyimpulkan gitu aja. Harus ada bukti kuat yang mendasari." Tipikal orang teliti. Nadine tidak mau melewatkan barang sekecil apa pun.

"Kalau lo pernah sabotase sistem keamanan website kampus, lo pasti juga bisa sabotase data Majesty, kan, Jo?" Claire berharap.

"Gue nggak seberani itu, Claire."

"Bener, ini terlalu beresiko." Shaka menghela. "Identitas mereka masih belum jelas. Orang-orang ini pasti levelnya jauh di atas kita."

"Kalau gitu, kita bisa cari buktinya di sini, 'kan?"

Seluruh atensi terpusat pada Nadine.

"Di gedung rektorat. Terutama ruang wakil rektor II. Harusnya ada laporan arus keuangan. Di situ kita bakal tahu kemana uang mereka mengalir dan dari mana uang mereka berasal."

Keadaan berubah hening. Sebelum meledak karena decakan Claire. Sepasang alisnya terpancang memastikan. "Maksud lo kita harus nyelundup ke rektorat?!"

"Kenapa?"

"Lo masih nanya kenapa? Nggak mungkin, Nad. Pengawasannya ketat. Kalau sampai ketahuan, bisa-bisa kita di drop out beneran!" Bibir yang dipoles gincu merah itu terus nyerocos.

"Gue setuju sama Nadine." Putusan Shaka melerai perdebatan sebelumnya. "Rektorat adalah satu-satunya tempat yang bisa kita jangkau saat ini."

Jo mengafirmasi dengan sebuah anggukan. "Bener. Sekalipun pengawasannya ketat, mereka nggak bakal bekerja 24/7, 'kan? Kita bisa manfaatin waktu kosong itu buat masuk."

Mendengar ketiga temannya begitu yakin dengan rencana tersebut, Claire mendesah berat. "Bener juga."

"Oke, kita bagi peran," ucap Shaka menutup diskusi sore itu.

****

Sore itu lagi-lagi mendung. Langit menggelap. Tanda akan turun hujan. Seolah menyuruh pulang para mahasiswa atau pun pekerja kantoran. Sementara Nadine harus terjebak bersama si bedebah yang memintanya mengantar ke bengkel Keenan dengan alasan ganti oli.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang